Kamis, 17 Februari 2011

saat Tuhan menciptakan Indonesia

KapanLagi.com - Suatu hari Tuhan tersenyum puas melihat sebuah planet yang baru saja diciptakan- Nya. Malaikat pun bertanya, "Apa yang baru saja Engkau ciptakan, Tuhan?" "Lihatlah, Aku baru saja menciptakan sebuah planet biru yang bernama Bumi," kata Tuhan sambil menambahkan beberapa awan di atas daerah hutan hujan Amazon. Tuhan melanjutkan, "Ini akan menjadi planet yang luar biasa dari yang pernah Aku ciptakan. Di planet baru ini, segalanya akan terjadi secara seimbang".
Lalu Tuhan menjelaskan kepada malaikat tentang Benua Eropa. Di Eropa sebelah utara, Tuhan menciptakan tanah yang penuh peluang dan menyenangkan seperti Inggris, Skotlandia dan Perancis. Tetapi di daerah itu, Tuhan juga menciptakan hawa dingin yang menusuk tulang.
Di Eropa bagian selatan, Tuhan menciptakan masyarakat yang agak miskin, seperti Spanyol dan Portugal, tetapi banyak sinar matahari dan hangat serta pemandangan eksotis di Selat Gibraltar.
Lalu malaikat menunjuk sebuah kepulauan sambil berseru, "Lalu daerah apakah itu Tuhan?" "O, itu," kata Tuhan, "itu Indonesia. Negara yang sangat kaya dan sangat cantik di planet bumi. Ada jutaan flora dan fauna yang telah Aku ciptakan di sana. Ada jutaan ikan segar di laut yang siap panen. Banyak sinar matahari dan hujan. Penduduknya Ku ciptakan ramah tamah,suka menolong dan berkebudayaan yang beraneka warna. Mereka pekerja keras, siap hidup sederhana dan bersahaja serta mencintai seni."
Dengan terheran-heran, malaikat pun protes, "Lho, katanya tadi setiap negara akan diciptakan dengan keseimbangan. Kok Indonesia baik-baik semua. Lalu dimana letak keseimbangannya? "
Tuhan pun menjawab dalam bahasa Inggris, "Wait, until you see the idiots I put in the government." (tunggu sampai Saya menaruh 'idiot2' di pemerintahannya) 

bahasa Indonesia lebih singkat

KapanLagi.com - In English: "Would you care to validate your previous statement?" In Indonesian: "SUMPE LO?!
In English: "Sorry, I think you miscalculated your own capabilities to handle the task at hand."
In Indonesian: "Nenek lu kiper!
In English: "Would you care to elaborate on that statement?" In
Indonesian: "MAKSUD LOH?!"
In English: "There's a 75% chance I won't make it, I'm far too busy for ur stupid event."
In Indonesian : "Insya'allah gw dateng!"
In English: "The meeting will start at 9:15 AM. Please be there 15 minutes beforehand."
In Indonesian: "Rapatnya jam 10!"
In English:"Let's try this new scam and see if those carbo-ladden brains buy it"
In Indonesian: "Mama minta pulsa"
English: "Please stop by our outlet. There might be stuff you'll find interesting."
Indonesian: "Giordanonya, Kakaaak!"
English: "I've stumbled upon something that might be of interest to you. You might find it useful."
Indonesian: "CEKIDOT GAN!"
English: "I'm so overwhelmed by this turn of event that I'm speechless and in awe."
Indonesian: "ANJROT!"

English: "This is a very interesting topic that everybody should stay updated about this."
Indonesian: "Sundul, Gan!"
English: "I definitely won't make it. You guys go and have fun without me."
Indonesian: "Ntar gue nyusul."
English: "You're absolutely, positively 100% correct. But I knew that already."
Indonesian: "EMBEER!"
English: "That's so profound. I can't contribute anything further but I need to say something to sound equally smart."
Indonesian: "Dalem.".

bus anggota DPR masuk jurang

KapanLagi.com - Serombongan bus berisi anggota DPR yang sedang plesir tergelincir masuk jurang.
Penduduk desa dengan cekatan menggali lubang dan mengubur massal rombongan DPR tersebut.
Setelah peristiwa itu terjadi, kemudian polisi datang dan bertanya.
"Apakah mereka mati semua ?" tanya polisi kepada penduduk desa.
"Sebenarnya tadi ada yang mengaku hidup! Tapi tahu sendiri kan, mereka itu omongannya gak bisa dipercaya!" jawab penduduk desa.

perbincangan 2 insan budeg

KapanLagi.com - Dua orang pembantu yang budeg tuli bertemu di jalan dan berbincang-bincang.
Inem: "Pagi-pagi begini mau ke pasar yem?"
Iyem: "ah gak kok, ini mau ke pasar"
Inem: "ooh..tak kirain kamu mau ke pasar"
Iyem: "Kalo gitu kamu ikut aku aja"
Inem: "Ke mana?"
Iyem: "Ya ke pasar dong"
Inem: "nggak deh, aku gak bisa"
Iyem: "Kenapa?"
Inem: "Soalnya aku di suruh juragan ke pasar"
Iyem: "ooo...padahal kalo kamu ke pasar juga kan kita bisa bareng"
Inem: "Iya sih, kapan-kapan aja deh. Aku ke pasar dulu ya.. "

Rabu, 16 Februari 2011

Firework Lyric

Do you ever feel like a plastic bag
Drifting throught the wind
Wanting to start again

Do you ever feel, feel so paper thin
Like a house of cards
One blow from caving in

Do you ever feel already buried deep
Six feet under scream
But no one seems to hear a thing

Do you know that there's still a chance for you
Cause there's a spark in you

You just gotta ignite the light
And let it shine
Just own the night
Like the Fourth of July

Cause baby you're a firework
Come on show 'em what you're worth
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
As you shoot across the sky-y-y

Baby you're a firework
Come on let your colors burst
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
You're gunna leave 'em fallin' down-own-own

You don't have to feel like a waste of space
You're original, cannot be replaced
If you only knew what the future holds
After a hurricane comes a rainbow

Maybe you're reason why all the doors are closed
So you could open one that leads you to the perfect road
Katy Perry Firework lyrics found on http://www.directlyrics.com/katy-perry-firework-lyrics.html

Like a lightning bolt, your heart will blow
And when it's time, you'll know

You just gotta ignite the light
And let it shine
Just own the night
Like the Fourth of July

Cause baby you're a firework
Come on show 'em what you're worth
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
As you shoot across the sky-y-y

Baby you're a firework
Come on let your colors burst
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
You're gonna leave 'em all in awe-awe-awe"


Boom, boom, boom
Even brighter than the moon, moon, moon
It's always been inside of you, you, you
And now it's time to let it through

Cause baby you're a firework
Come on show 'em what your worth
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
As you shoot across the sky-y-y

Baby you're a firework
Come on slet your colors burst
Make 'em go "Oh, oh, oh!"
You're gonna leave 'em all in awe-awe-awe

Boom, boom, boom
Even brighter than the moon, moon, moon
Boom, boom, boom
Even brighter than the moon, moon, moon

Senin, 07 Februari 2011

Novel Gue :) (masih dalam proses)


1. BALAS BUDI


AKU tidak dapat melihat dengan jelas suasana di luar, titik-titik hujan memenuhi latar belakang kaca mobil. Di sekeliling samar-samar terlihat papan reklame yang terpampang di sudut-sudut kota, serta gedung-gedung bercakar langit yang tinggi tanpa terlihat ujungnya. Dimana-mana terdapat tulisan yang sama, NEW JERSEY, ternyata itu tempat tujuanku.
Satu-satunya alasan kenapa aku tidak membuka kaca jendela untuk melihat-lihat keadaan di luar adalah aku tidak ingin udara dari luar menusuk tulang rusukku, suhunya terlalu dingin sekitar 7°C untung saja penghangat di dalam mobil bekerja dengan baik, karena kalau tidak aku akan terus protes sampai aku membeku.
Aku tidak bisa menyamakan suhu di sini dengan suhu di Bandung atau Bogor (karena hanya kedua kota itu yang pernah aku kunjungi dan suhunya lebih rendah dari pada kota-kota lain, selebihnya aku tidak tahu) disini jauh lebih dingin. Bahkan katanya temperatur di sini lebih rendah dari pada di Washington. Tapi aku tidak bisa memastikannya karena aku belum pernah ke sana. Aku bisa flu saat pulang dari Bogor, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok, bahkan nanti malam. Sepertinya aku akan tidak baik-baik saja.
Aku hanya membisu di dalam mobil mencoba menghilangkan rasa grogi yang teramat hebat. Di dalam perutku masih bergejolak rasa itu.
            “Luna, kau baik-baik saja?” Jasmine, tanteku yang sedari tadi duduk di sampingku (aku hampir lupa dia ada disana) menoleh ke arahku namun tetap fokus mengendarai Jaguarnya. “Apakah perutmu sudah baikan?” sekali lagi ia mencoba menghangatkan suasana.
            “Aku tidak apa-apa.” dustaku. Aku benar-benar tidak baik-baik saja. Sesuatu terus mencengkeram perutku, masih sama seperti saat aku di bandara, menuggu pesawat berangkat, sampai saat ini. Hanya agar Jasmine tidak lagi menghawatirkanku dan melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu lagi sepanjang perjalanan.
            Aku menahan rasa mengerikan itu sampai dahiku berkeringat padahal cuaca di luar sangat dingin, bagaimana tidak, aku harus berdiam diri di pesawat selama 12 jam! Aku sampai bingung apa yang harus aku lakukan dalam waktu selama itu? Semua itu membuatku frustasi. Masih terekam jelas saat aku keluar masuk toilet bandara Soekarno-Hatta untuk menghilangkan rasa grogi itu. Rasanya tidak jelas, mual, mulas dan keram. Semua itu terasa sama sampai aku tiba di Princeton Airport. Ini adalah pengalaman pertamaku naik kendaraan bersayap itu. Aku tertawa geli di dalam hati, betapa noraknya aku saat itu bahkan sampai saat ini.
            Jasmine menginjak remnya dan seketika itu juga mobilnya berhenti. Terdengar pintu belakang terbuka. Turun seorang lelaki berpostur tinggi besar dengan jaket tebal.
            “Trims... Jasmine.” Suara bass itu terdengar merendah menandakan ketulusannya. “Kau yakin tidak mau mampir?” Ia mengangkat alisnya yang hitam pekat.
            “Tidak, terima kasih, kukira Luna pasti ingin cepat-cepat berbaring di tempat tidurnya.” Benar, aku tidak akan tahan bila harus menunda-nunda kedatanganku dirumah Jasmine.
            Aku melongok dari jendela mobil. “Terima kasih John, telah menjagaku di sepanjang perjalanan tadi, maaf merepotkanmu.” Aku memaksakan diri untuk membuka kaca mobil, hanya agar sedikit lebih sopan. Dialah orang yang sering menjadi sasaran empuk saat keadaan mulai membosankan di sepanjang perjalanan tadi.
            “Tidak apa-apa, aku bisa memakluminya.” Ia menyunggingkan senyumannya. Ia pria yang sangat baik, rela menjemputku sampai ke Indonesia. “Mungkin kapan-kapan kau bisa mampir ke apartemenku.” Aku mengangguk pelan. Ia pun menghilang di balik pintu apartemen itu masih dengan senyumannya.
            Aku segera menutup lagi kaca mobilnya, sebelum udara dingin memenuhi isi mobil dan mengalahkan suhu hangat di dalamnya, itu mungkin saja terjadi kan?
            “Dia orang yang sangat hebat, pekerja keras.” Ujar Jasmine saat ia mulai fokus lagi untuk menjalankan kendaraan roda empatya. Aku melirik ke arahnya menunggu lanjutan yang akan keluar dari bibirnya. “Ia berjuang sendirian di sini. Ia sempat tinggal di basement, sampai ia mendapatkan cukup uang untuk membeli sebuah apartemen. Cukup lama sampai aku lupa kapan itu.”
            “Memangnya sejak kapan ia pindah ke sini?” Tanyaku penasaran pada Jasmine sambil melengos ke arah gedung-gedung itu.
            “Semenjak ia lulus SMA, ia mendapat beasiswa di Princeton University. Kau tahu kan dia itu seoarang yatim piatu, jadi ia membiayai hidupnya sendiri.” Matanya berkaca-kaca saat ia mencoba menytabilkan suaranya yang mulai tak teratur. Dahinya mengerut.
            Mungkin dia juga teringat pada kehidupan masa lalunya. Waktu itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Ketika ayah dan ibunya meninggal (atau bisa disebut juga kakek dan nenekku) hanya dia yang belum berkeluarga dan masih menggantungkan hidupnya pada orang tuanya. Ia hidup terlantar hingga ibuku mengajaknya untuk tinggal bersama kami. Dulu keluargaku masih bisa merasakan indahnya kasih sayang. Tapi sekarang... aku jadi teringat ibu di rumah, aku harus meninggalkannya sendirian di rumah dengan adikku yang baru berumur 8 tahun. Berat rasanya bila harus jauh dari mereka tanpa tahu keadaannya sekarang.
            Aku memang bukan anak pertama, kakakku Radit, ia sudah sukses, setelah ibu berhasil membiayai kuliahnya hingga lulus dengan gelar sarjana, ia menikah dan menghilang tak ada kabar hingga sekarang. Menyakitkan memang, dia seperti anak durhaka yang tak tahu balas budi terhadap jasa-jasa orang tua. Aku pun tidak tahu apakah ajal sudah menjemputnya atau belum. Semoga ia sempat minta maaf pada ibu sebelum ia mati, mati memang kata-kata yang tepat untuk orang seperti dia.
            Tapi apakah aku juga anak yang durhaka karena telah menjebloskan ayahku sendiri ke balik jeruji yang dingin dan pastinya tidak akan menyenangkan bila tinggal di sana? Semoga tidak.
            Suara klakson dan guncangan hebat membuyarkan lamunanku. Di depan kami terjadi kecelakaan kecil yang memaksa Jasmine untuk menginjak remnya mendadak.
            “Maaf, Luna.” Napasnya terengah-engah dan matanya melotot karena shock.
Aku mengangguk sambil memandangi kecelakaan itu, syukurlah korban hanya luka ringan namun kendaraannya mengalami kerusakan yang cukup parah. Kemacetan pun tidak terlalu berlarut-larut, tapi tetap saja keadaan ini membuatku semakin ingin muntah, karena lagi-lagi harus berdiam diri dan menunggu.
Kaku rasanya jika harus terus duduk berdiam diri tak bergerak. Kuregangkan otot-ototku terutama bagian tangan. Tak sengaja tanganku menyentuh saku mantelku, ada sesuatu yang mengganjal, kurogoh dalam-dalam, seperti benda persegi panjang dan kabel. Jangan-jangan ipod milik John yang kupinjam tadi di pesawat. Benar kataku, ini ipod milik John, aku ingin segera mengembalikannya tapi aku sudah tidak tahan, aku lelah, lebih baik aku kembalikan kapan-kapan. Aku melihat play list di ipodnya, kerinduanku pada tanah air akan terobati walaupun sedikit dengan mendengarkan lagu-lagu Indonesia. Padahal baru beberapa jam, tapi rasanya sudah terlampau lama. Mungkin karena kepergianku tidak disertai dengan ketulusan.
Jasmine menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang cukup besar dan sepi. Tepatnya terletak di kota Denville. Inikah rumahnya? Aku membuka pintu dan keluar dari mobil, angin dingin langsung menyerangku seakan mantel tebal ini tak mampu menepisnya. Hidungku mulai terasa tidak nyaman. Aku mengernyitkan hidung.  Aku terus berjalan perlahan menaiki anak tangga yang licin satu per satu. Jasmine menjulurkan tangannya dan menggenggam gagang pintu, pintu itu berdecit mengeluarkan suara yang mengilukan, ia mempersilahkanku masuk duluan masih memegangi gagang pintu.
Terdengar suara bising televisi dari ruang tengah, aku menoleh ke arah Jasmine dan ia hanya tersenyum dan mengangkat alisnya.
Ia mendahuluiku menuju ke ruang tengah, “Chad! Letakkan ikan itu di akuarium... Apa kau tidak kasihan padanya? Ia hampir kehilangan nyawanya, aku sudah mengatakannya berapa kali padamu?” Anak itu menaruh ikannya kembali setelah ia memerlakukan ikannya seperti mainan yang tak bernyawa. Kulihat mata Jasmine melotot dan merah.
“Maaf, mom.” Ia menunduk dan melirik ke arahku, sepertinya ia mulai menyadari kehadiranku disini. Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan kananku padanya.
“Ini Luna, sepupumu, bersikaplah baik padanya.” Jasmine mencoba memperkenalkanku pada anak itu. Yang tidak lain adalah sepupuku yang sebelumnya aku belum pernah bertemu dengannya. Tapi anak itu langsung menghambur keluar rumah tanpa menghiraukan aku.
“Dia memang selalu begitu, tapi dia anak yang baik, pasti nanti kau akan terbiasa. Pasti kau lelah kan? Aku antarkan kau ke kamar yang sudah aku siapkan.” Ia menarik tanganku menuju ke lantai 2 rumah itu, dentakan sepatu membuyarkan suasana sunyi, suaranya begitu nyaring karena semuanya terbuat dari kayu termasuk lantainya.
Jasmine membiarkanku sendirian di sebuah kamar yang cukup luas bagiku, itu adalah kamar tidur yang akan aku tempati. Aku langsung menjatuhkan tubuhku di atas tempat tidur yang empuk dibandingkan dengan kasurku yang ada di rumah. Kupandangi langit-langit yang cukup kusam dan memperhatikan setiap sudut ruangan. Aku cukup nyaman dengan cat tembok berwarna jingga pucat, tidak terlalu mencolok. Ada sebuah lemari berdiri tepat di depanku dan di sudut ruangan ada pintu yang sepertinya jalan menuju kamar mandi. Perhatianku beralih pada ranting-ranting pohon yang mengetuk-ngetuk kaca jendela karena tertiup angin masih dengan butiran-butiran air hujan mengakibatkan suasana horor. Tapi aku tidak takut, lagipula hantu apa yang akan muncul di Amerika pun aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Jendela itu berada pas di sebelah kanan tempat tidurku sementara di sebelah kiri ada meja belajar kumplit dengan seperangkat komputer. Sepertinya hidupku akan berkecukupan di sini. Mungkin bahkan lebih dari itu.
Kupejamkan mata dan mencoba menenangkan pikiranku. Kucoba tepiskan pikiran-pikiran yang terus mengganjal, melupakannya jauh-jauh walaupun hanya untuk sementara. Kubiarkan anganku merangkai mimpi. Untuk melupakan segala bebanku sejenak.














2. MOTOR MATIK BARU


CAHAYA yang masuk dari celah-celah jendela membangunkanku, kepalaku terasa sangat berat, aku tak bisa merasakan darah mengalir di kepalaku. Seluruh badanku terasa pegal, aku memutarkan kepalaku agar rasa sakit itu sedikit hilang. Mungkin aku terlalu lelah karena perjalanan kemarin. Bahkan tidurku semalaman pun tak terasa, sangat nyenyak. Sampai-sampai aku tidak sempat mandi dan mengganti pakaianku semalam.
            Terdengar suara Jasmine sambil mengetuk pintu kamarku atau yang lebih tepat adalah kamar yang aku tumpangi ini. “Luna, apa kau sudah bangun? Waktunya sarapan, kau pasti lapar, kalau kau mendengarku cepatlah rapihkan dirimu dan segera turun, temui aku di meja makan.” Sekejap suaranya menghilang.
            “Ya, aku akan segera turun.” Aku hanya menjawab sambil berbaring, terlambat beberapa detik. Aku masih ingin tidur dan untuk bangun pun aku masih sulit, tulangku seakan remuk semua.
            Kali ini aku memaksakan untuk bangun dan segera mandi, karena aku sudah merasa tidak nyaman dengan tubuhku yang kotor.
 Aku merasa sangat canggung tinggal disini, aku belum terbiasa dengan semua alat yang disediakan, maklum aku ini kan bukan orang yang berasal dari keluarga yang berada. Untuk mengatur suhu air pun aku merasa sedikit kesulitan, tapi dengan kebiasaanku yang selalu mencoba-coba satu masalah itu pun terselesaikan. Aku mengambil baju di koper yang belum sempat aku bereskan.
Aku turun ke lantai satu untuk menemui Jasmine di ruang makan. Di sana sudah ada Chad Murray dan yang itu pasti Alex Ferguson yang tidak bukan adalah suami dari tanteku Jasmine. Nama yang konyol. Pasti orang yang memberikan nama itu adalah penggemar dari club sepak bola asal Inggris, Manchester United. Ia menoleh dan mengembangkan senyumannya, aku pun menyambutnya dengan senyuman andalanku.
“Selamat pagi.... bagaimana tidurmu semalam?” Alex sambil mempersilahkan aku duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan. Wajahnya sangat ceria mengalahkan matahari.
“Pagi, sangat nyenyak sampai-sampai aku tidak mendengar apa pun semalam.” Aku duduk di sebelahnya di depan Chad.
Jasmine sudah manyiapkan satu porsi pancakes dengan stroberi sebagai toppingnya untukku. “Makanlah yang banyak, kau pasti lapar.”
“Terima kasih.”
Chad memandangku sinis dengan mulut penuh makanan. Selama sarapan Alex selalu melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tak ingin kujawab, tapi aku tak ingin membuatnya kecewa, terkadang ia mengeluarkan gurauan yang aneh dan tidak lucu, selera humornya sangat buruk, tapi lagi-lagi aku harus menghargai orang lain, seringnya aku hanya tersenyum untuk menanggapinya.
Sampai pancakes di piringku habis tanpa sisa, tak terasa mungkin karena aku yang lapar atau efek mendengarkan gurauan yang tidak lucu, entahlah. Aku bangun dari kursi yang tadinya kududuki dengan membawa piring kotorku tadi ke tempat cuci piring.
Jasmine menahanku. “Tunggu Luna, kami sudah punya jadwal untuk mengajakmu jalan-jalan untuk mengenalkanmu Middlesex County, agar ya minimal kau tahu seluk beluk dan suasananya. Sekalian aku ingin menunjukkan sekolah barumu di sana.” Tatapannya penuh pengharapan, berharap aku akan suka.
“Tapi aku belum memebereskan pakaian-pakaianku.”
“Baiklah, kau bereskan saja dulu, 2 jam lagi aku tunggu kau di halaman, ok?” Ia bangun dan membereskan piring yang bergeletakan di meja makan. Tanpa pikir panjang aku langsung membantunya untuk mencuci piring-piring kotor itu.
“Maafkan sikap Alex, jangankan kau, aku saja yang sudah 13 tahun bersamanya masih sering tak tahan atas selera humornya itu.” Kami berdua tertawa geli, terutama aku, penampilannya sungguh tak mencerminkan sikapnya, kira-kira dimana ya Jasmine menemukan orang seperti dia?
Semua piring-piring itu sudah bersih, aku mengeringkan tanganku dengan serbet yang ada di sampingku.
Jasmine berbalik ke arahku dan sekarang ia tepat sedang berhadapan denganku. “Luna, kau tidak perlu sungkan jika membutuhkan sesuatu bilang saja padaku atau pada pamanmu. Anggaplah kami sebagai orang tuamu.”
“Ya, terima kasih atas semua kebaikan yang telah kau lakukan terhadap keluargaku, aku tak tahu bagaimana aku harus mengungkapkannya.” Pasti ekspresiku saat itu sedikit aneh karena aku memang agak canggung dengan keluarga Alex. Bagaimanapun juga kami sudah lama sekali tidak bertemu sebelum ini.
Jasmine menggenggam tanganku. “Tidak perlu, anggap saja semua yang kulakukan adalah suatu bentuk balas budi. Kuharap kau akan betah tinggal di sini.” Sudut bibirnya mengembang membentuk sebuah senyuman.
“Jika aku harus tinggal dengan orang sebaik kau pasti aku akan betah. Baiklah, sepertinya aku harus segera membereskan barang-barangku, jika aku tidak ingin melewatkan waktu bersenang-senang dengan kalian.” Aku melepaskan genggaman tangannya dan pergi menuju kamar.
Aku berlari kecil saat menaiki anak tangga, untuk sedikit olah raga, karena akhir-akhir ini aku merasa cepat lelah jika melakukan sesuatu, jadi sepertinya aku memerlukan sedikit olah raga. Kutata rapi pakaian-pakaianku di dalam lemari kayu yang sudah disediakan, kupajang foto-foto kenangan saat di Indonesia bersama teman dan keluargaku. Mengingat mereka membuatku ingin meneteskan air mata. Sungguh berat hidup yang harus aku jalani.
Ini hari Selasa, biasanya pagi-pagi seperti ini aku sedang belajar Kimia sambil cekikikan membuat lelucon tentang guruku yang satu itu, tapi sekarang aku merasa sangat berdosa, karena justru hanya dia yang peduli padaku, ia memberikanku sebuah rubber wristband putih bertuliskan life  changing yang selalu kukenakan di tangan kiriku, benda itu adalah sebuah tanda bahwa ia akan selalu ada untukku.
Sepertinya aku tidak perlu berlama-lama di kamar ini karena kupikir semuanya sudah beres, lagipula Alex sudah memanggilku dari tadi.
“Cepat Luna! Sepertinya hujan akan turun.” Alex kesal sampai-sampai ia terus membunyikan klaksonnya untuk memanggilku.
“Ok! Aku sudah siap.” Napasku terengah-engah. Sudah ada Jasmine di bangku depan dan Chad di belakang.
Aku naik ke mobil keluarga Alex, aku sudah tidak sabar ingin tahu sekolah yang akan aku datangi. Semoga tidak buruk. Aku duduk di bangku penumpang di sebelah Chad. Sepanjang perjalanan aku dan Chad tak pernah mengobrol sama sekali. Aku sudah beberapa kali mencoba mengajaknya bicara, tapi sepertinya bocah berumur 12 tahun ini benar-benar tidak menyukaiku sama sekali. Wajahnya selalu garang jika melihatku, entah apa yang salah dalam diriku.
Karena usahaku sia-sia mengajak Chad ngobrol aku hanya terdiam memandang ke arah luar menikmati keindahan kota. Aku hanya dapat melihat Edison High School dari luar karena kami tak diijinkan masuk ke dalam, benar-benar berbeda dengan sekolahku dulu, disini sepertinya sangat mewah. Bahkan aku sampai bertanya pada diriku sendiri, apa aku pantas masuk sekolah ini? Aku mulai membayangkan yang bukan-bukan, seakan kerja otakku sudah terprogram otomatis untuk memikirkan hal-hal buruk apa saja yang akan terjadi di sana.
Aku masih tak konsenterasi sesampainya di restoran saat keluarga Alex mengajakku makan siang.
“Luna? Kau tidak apa-apa? Sepertinya kau tidak menikmati perjalanan ini.” Jasmine yang tengah memperhatikanku.
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
Pikiranku terus melayang kesana-kemari tak karuan, sampai aku tak bisa merasakan rasa makanan ini. Tiba-tiba saja makanan yang tadi kupesan sudah habis kulalap. Padahal aku tidak tahu makanan apa ini, kelihatannya pun sudah tidak enak.
Tak lama setelah makanan kami habis, kami pun pulang, sebenarnya keluarga Alex masih ingin mengajakku jalan-jalan, tapi aku menolak dengan berdalih kepalaku mendadak pusing, padahal aku benar-benar ingin pulang sebelum pikiranku tambah kacau dengan semakin banyaknya hal-hal yang akan menjadi beban pikiranku.
Perjalanan pulang tak ada beda dengan perjalanan berangkat tadi, tetap diam membisu. Situasi ini semakin membuat kepalaku ingin meledak, aku khawatir kehadiranku disini hanya akan menjadi beban orang lain.
Sesampainya di rumah, mereka memberiku kejutan, yaitu sebuah motor matik, aku sangat bersyukur dengan apa yang telah mereka berikan. Tapi ucapan Chad yang bilang aku akan terlihat seperti tukang antar makanan cepat saji itu sedikit menggangguku. Ada saja yang akan mengganggu pikiranku lagi. Tapi kali ini aku mencoba sekeras mungkin untuk mengacuhkannya.
Aku mulai mencoba matik itu di depan halaman rumah, sebenarnya aku sedikit terganggu dengan suhu disini. Apalagi saat aku ada diatas motor, aku akan berada di alam terbuka (sebenarnya agar lebih dramatis).
Malam ini bulan sangat terang tapi tak seterang perasaanku, aku sangat merindukan ibuku disana, air mata perlahan jatuh di pelupuk mataku, seakan air mataku tak akan habis untuk meratapi nasib. Andai saja semuanya terjadi sesuai kehendakku, mungkin tak akan seperti ini jadinya. Titik air mata menemaniku, mengantar tidurku, hingga aku terlelap sejenak melupakan apa yang telah terjadi. Inilah saat-saat paling menenangkan, tak ada beban, tak ada pikiran. Tak ada yang harus kusesali dan kupahami.



















3. SEBUNGKUS ROTI


AKU yakin aku sedang bermimpi, karena untuk pertama kalinya setelah 5 tahun aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Aku melihat ayahku merangkul ibu dan Tiva adikku, wajahnya begitu bersinar tersenyum tanpa beban, mungkinkah ia sudah berubah?
Tapi untuk saat ini sepertinya itu semua mustahil, aku tak akan larut dalam kebahagiaan itu karena semakin aku berharap aku akan semakin jatuh, jatuh ke tempat yang sama sekali tak ku inginkan.
            Suara ketukan pintu membangunkanku dari mimpi indah itu, aku sedikit menyesal karena moment itu bagitu singkat. Dan apakah aku akan merasakan itu lagi suatu saat nanti, walaupun hanya dalam mimpi?
            “Luna! Waktunya kau bangun, pasti kau tidak ingin terlambat kan di hari pertamamu ke sekolah?” Terdengar suara Jasmine dari balik pintu.
            “Ya. Sebentar lagi aku akan turun.” Tanpa pikir panjang aku bangun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi.
            Tak lama, hanya beberapa menit aku sudah siap dengan kaos putih dan mantel berwarna hijau gelap yang baru Jasmine belikan untukku kemarin serta celana jeans biru gelap, tentunya dengan semua peralatan sekolah yang aku perlukan yang sudah disediakan Jasmine sebelum hari ini. Semoga apa yang aku pakai sekarang tidak mengganggu penglihatan orang lain.
            Kini aku sudah di meja makan bersama keluarga Alex, seperti kemarin suasananya, membosankan harus mendengarkan cerita Alex, aku tidak bisa membayangkan jika aku harus mengalaminya setiap hari. Untung saja di ruang makan tidak berlama-lama, jadi aku bisa menghela napas sekarang.
            “Luna! Cepatlah masuk! Kita akan berangkat!” Alex melambaikan tangannya dari dalam mobil.
            Apakah harus? Aku bisa pingsan karena bosan mendengarkan semua ceritanya itu, aku tidak mau semua itu terjadi. Kalau tidak dengannya aku harus ke sekolah dengan siapa? Aku kan orang baru di sini, tapi sebisa mungkin aku harus menghindari Alex.
            “Tidak, trims, untuk apa kalian membelikanku sebuah motor kalau tidak aku gunakan, lebih baik aku berangkat sendiri saja.” Aku mencoba memasang wajah meyakinkan.
            “Apa kau yakin? Kau baru sekali kesana.” Jasmine tiba-tiba datang dari belakangku.
            “Aku yakin, tenang saja, aku mudah menangkap sesuatu yang baru dan menyimpannya di otakku.” Menunjukan telunjukku ke kepala.
            “Tapi aku khawatir jika kau tersesat di tengah jalan, kau kan baru sehari disini.”
            “Aku tidak apa-apa, percayalah, hanya saja aku ingin jadikan itu sebuah tantangan.”
            “Baiklah jika itu maumu, tapi tunggu sebentar.” Jasmine masuk lagi ke dalam rumah seperti ingin mengambil sesuatu dan menunjukannya padaku.
            Ia keluar dengan sebuah benda di tangannya. “Ini, untuk berjaga-jaga, kalau kau tersesat, segera hubungi aku.” Sambil memberikan sebuah handphone padaku.
            “Terima kasih, aku akan ingat pesanmu.” Berlari kecil ke arah garasi.
            Kunyalakan motor matik itu dengan kunci yang kuberi gantungan bermotif Nightmare. Aku berangkat sambil melambaikan tangan pada Jasmine. Udara dinginnya menusuk setiap ruas tulang rusukku, sangat terasa. Sebuah motor benar-benar tidak praktis digunakan di sini. Aku hanya bergidik menahan dingin yang mampu mengeletukkan gigi-gigiku. Sejujurnya, aku tidak terlalu hapal dengan jalan menuju sekolah, aku hanya bermodal nekat, sekarang pun aku tidak tahu aku berada dimana. Sepertinya aku benar-benar tersesat, aku sama sekali tidak tahu jalan menuju sekolah maupun rumah Jasmine. Kalau aku menghubungi Jasmine, tidak... aku harus berusaha sendiri.
            Aku hampir putus asa, aku sudah melewati jalan ini berkali-kali, aku hanya berputar-putar disini. Bagaimana ini? Aku pun berhenti mencoba berpikir, tapi tiba-tiba dari sebelah kiriku sebuah bus malintas dengan sekencang mungkin dan membasahiku dengan cipratan air dari kubangan. Airnya mengotori sekujur tubuhku, saat aku ingin memaki bus itu, dibelakang bus aku membaca sesuatu yang tidak asing, Edison High School? Itu dia, itu tujuanku, untuk saat ini aku tidak jadi marah karena bus itu akan menyelamatkanku, aku sangat beruntung.
            Aku bergegas mengejar bus itu, busnya sangat kencang, tapi apa boleh buat, itu satu-satunya jalan, aku pun mengebut dengan sekencang-kencangnya. Tak peduli dengan keselamatanku sendiri, karena kuyakin aku akan baik-baik saja. Untungnya saja bus itu sempat berhenti beberapa kali di halte, karena kalau tidak aku akan tersesat lebih jauh.
            Akhirnya bus itu membawaku ke tempat tujuanku. Aku segera memarkirkan motorku. Aku merasa sedikit kedinginan karena tubuhku sedikit basah. Aku berjalan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingku. Kubiarkan rambut panjang ikalku menutupi wajahku. Lagi pula siapa yang mau mengenal seorang anak tukang cuci dan satpam yang suka berjudi dan mabuk-mabukan seperti aku. Jadi lebih baik aku bersembunyi dari mata-mata mengerikan itu.
            “Hey! Makhluk macam apa lagi yang masuk ke sekolah ini?” Kudengar seorang cowok berbicara seperti itu pada temannya, aku tahu karena diselingi suara cekikikan orang-orang. Jadi kupikir siapa lagi yang ia maksud kalau bukan aku? Tapi aku tidak berani melihat wajah orang itu sedikit pun, nyaliku terlalu ciut untuk itu.
            Aku terus berjalan sepanjang koridor mencari ruang kelas bahasa Inggris, semua pandangan mata tak terlepas dariku, aku semakin risih dengan ini semua. Entah apa yang menarik mereka sehingga mereka begitu antusias memperhatikan kedatanganku. Mereka seperti melihat pohon tauge di kutub utara, lagi pula siapa yang mau menanam pohon itu di sana?
            Terkadang terdengar bisikan-bisikan tidak mengenakkan dari mereka. Aku harap aku segera menemukan kelasku, agar aku bisa duduk tenang (setidaknya). Aku selalu memikirkan hal-hal buruk apa yang akan terjadi yang sudah kubayangkan kemarin. Pikiranku terbuyar saat aku menabrak seseorang di depanku, mungkin karena aku selalu jalan menunduk saat ada kerumunan orang banyak.
            “Hey! Hati-hati....” Suara cowok itu.
            “Maaf, aku tidak sengaja, maafkan aku.” Memasang muka melas karena aku tidak mau dikeroyok orang-orang gara-gara menabraknya, siapa tahu dia seorang gengster. Mengerikan.
            “Tidak apa-apa... kau ini anak baru kan?” Aku tercengang, sepertinya tidak seburuk yang kukira. Dengan sangat hati-hati ia memerhatikanku.
            “Ya, aku sedang mencari kelas bahasa Inggris, mungkin kau tahu?” Kata-kataku tebata-bata karena grogi setengah mati. Mata abu-abu terangnya terus memandangiku, meneliti setiap bagian wajahku, apa-apaan orang ini? Membuatku takut saja.
            “Ya, aku tahu, kau lurus saja, pada belokan kedua dari sini kau belok kiri, tempatnya disitu.” Ia masih memandangiku, aku ingin sekali mencolok matanya supaya berhenti menatapku seperti itu.
            “Terima kasih.” Aku pergi meninggalkannya, aku tidak akan tahan bila harus tetap disana. Makhluk macam apa dia itu, aku tidak berani menoleh ke belakang, tapi firasatku mengatakan ia masih memandangi kepergianku. Dia membuatku semakin takut.
            Sesampainya di ruang kelas, kuletakkan tasku diatas meja dan masih tetap diam tanpa menyapa satu orang pun. Sesekali aku mendengar suara-suara bisikan yang sepertinya tidak mau orang lain dengar, aku langsung berpikir yang tidak-tidak, apakah mereka sedang membicarakanku? Apakah buruk? Aku sampai tidak konsenterasi dengan apa yang disampaikan guru di depan.
            Kelas bahasa Inggris berlalu begitu cepat. Lagi-lagi aku diuji dengan komentar orang-orang, tapi sebisa mungkin aku akan mengacuhkan itu semua. Semoga di kelas Matematika ada orang yang setidaknya tidak peduli akanku.
            Aku terus mencoret-coret kertas kosong yang ada di hadapanku, bukannya aku merasa aku sudah bisa, tapi ini sungguh membosankan, guru-guru di sini terlalu serius, tak ada waktu santai sedikitpun. Aku merasa ada yang sedang mengawasiku tapi ini lain, tapi aku tidak tahu siapa itu, biasanya feelingku selalu kuat. Aku tidak berani menoleh kanan, kiri dan belakang. Tidak untuk saat ini. Aku menahan perasaan ini sampai pelajaran berakhir. Dan sampai saat ini pun aku tidak tahu siapa orang itu.
            Sudah waktunya makan siang, pantas saja dari tadi perutku terus mengeluarkan bunyi-bunyi yang mungkin tak asing lagi bagi semua orang. Aku lapar, aku harap aku bisa segera mendapatkan makanan enak di kantin untuk mengisi perutku yang kosong. Aku duduk di salah satu bangku yang kosong. Mata-mata mengerikan itu menatapku lagi, menatap heran, aneh dan apalah.... lagi-lagi aku harus berusaha mengacuhkannya.
            Aku baru teringat kalau Jasmine memberikan aku handphone. Kuambil benda itu dari dalam tas. Ada 10 panggilan tak terjawab, pasti dari Jasmine. Benar saja, sepertinya aku harus menghubunginya kembali agar ia tidak khawatir, dengan begitu urusan akan selesai. Tapi muncul masalah baru, yaitu bagaimana aku pulang? Aku tidak hapal dengan jalan menuju rumah Jasmine. Akan kupikirkan itu lagi nanti, tentunya setelah makan.
            Aku hanya menusuk-nusuk makanan itu, karena rasanya aneh saat itu melewati tenggorokanku terasa seperti makanan basi, apa enaknya makanan ini? Semua orang melahapnya dengan semangat 45. Melihatnya saja aku ingin muntah. Mungkin karena lidahku belum terbiasa dengan makanan-makanan ini. Tapi aku lapar, apakah ada yang bisa aku makan?
            Aku sedikit lega karena orang-orang itu sudah mengacuhkanku, mereka seperti anak-anak yang tak mendapatkan kebahagian di masa kecilnya. Menaiki meja dan teriak-teriak seperti monyet saja, tempat ini sudah seperti suaka margasatwa. Situasi ini semakin membuatku lapar dan ingin marah-marah.
            Tiba-tiba ada 3 cewek yang sepertinya ingin menghampiriku. Yang paling kanan berambut pirang keriting dan badannya kelewat tinggi, yang paling kiri berambut cokelat pendek lurus dan cebol dan yang ditengah, cantik, manis, dan sepertinya ramah, rambut cokelat gelapnya terurai. Mereka berhenti  tepat di hadapanku dengan seringai lebar.
            “Hi....” salah satunya menyapaku dengan bibir berlumuran lipstick.
            “Ya?” Jawabku dengan memandangi mereka dari atas ke bawah.
            “Kau anak baru ya? Emh, kulitmu cokelat.” Cewek abstrak itu bicara padaku dengan nada meremehkan.
            Emosiku memuncak, mereka tidak tahu apa perutku sedang kelaparan? Bikin masalah saja. “Memangnya kenapa kalau kulitku cokelat? Dasar kau, apa kau selalu membeda-bedakan orang? Itu diskriminasi namanya.” Aku beranjak dari kursi dan meninggalkan makananku bersama orang-orang itu.
            Kudengar suara-suara berisik di belakangku.
            “Kau ini bodoh sekali! Kenapa kau bicara seperti itu?”
            “Aku kan hanya ingin mengajaknya bicara, apa itu salah?”
            “Sekarang apa? Dia meninggalkan kita. Apa kau pikir itu bagus?”
            Kupercepat langkahku hingga perlahan suara mereka tak terdengar lagi di telingaku. Sebenarnya aku tidak terlalu tersinggung dengan ucapannya itu, mungkin karena aku sedang lapar, jadi emosiku tak terkendali, aku memang seperti itu. Sekarang aku bingung harus kemana. Mungkin melihat lokerku tidak buruk. Aku segera menuju kesana, walaupun aku tidak tahu kemana arahnya, aku hanya mengikuti kemana langkanku berjalan. Aku memang orang yang sangat beruntung, akhirnya aku menemukannya setelah berputar-putar koridor. Kubuka pintu loker itu dengan sebuah kunci yang kamarin Jasmine berikan. Polos sekali loker ini, mungkin aku harus memodifikasinya agar terlihat sedikit menarik. Kuletakkan beberapa bukuku untuk mengurangi rasa berat di tasku, sebelum pundakku tinggi sebelah. Alangkah terkejutnya diriku saat aku menutup kembali pintu lokernya. Aku melihat sesosok makhluk yang tadi kutemui di koridor saat aku mencari kelas bahasa Inggris. Ketakutanku muncul lagi saat ia menatapku (lagi). Tapi ketakutan itu mendadak hilang saat aku melihat sebungkus roti di tangan kanannya. Hasrat ingin makanku mucul lagi, seandainya aku bisa memakannya pasti perutku akan berhenti menyiksaku seperti ini. Ia mengalihkan pandangannya ke rotinya itu.
            “Kau mau?” Ia mengulurkan tangan kanannya, dimana roti itu berada. Alisnya terangkat.
            Aku tersentak kaget, aku harus menjawab apa? Kalau aku menjawab ya, itu akan sangat memalukan, tapi aku sangat lapar. Seakan roti itu bicara padaku agar segera memakannya. Kupandangi matanya yang abu-abu, mencoba memberi isyarat padanya kalau aku sangat menginginkan roti itu. Tapi apa dia akan mengerti?
            “Kalau kau tidak mau, ya sudah.” Cowok ini menyebalkan.
            Dengan spontan dan tanpa sadar aku memotong kata-katanya. “Aku mau.” Aku meringis. Ini sungguh memalukan, pasti mukaku sangat merah saat ini. Tapi apa boleh buat aku sudah mengatakannya. Akhirnya ia memberikan rotinya padaku.
            Kami duduk di bangku penonton tempat pertandingan sambil menonton siswa-siswa yang sedang latihan baseball.
            “Sepertinya kau lapar sekali. Kau sudah tidak makan berapa hari?” Kali ini aku benar-benar ingin mencolok matanya karena melihatku seperti itu.
            “Boleh aku minta tolong?” Ia mengangguk. “Jangan melihatku seperti itu, aku sedikit terganggu.”
            “Baiklah, kau belum menjawab pertanyaanku.”
            Aku harus menjawab pertanyaan yang mana? Dia melontarkan bagitu banyak pertanyaan, belum sempat aku menjawab ia sudah menanyakan hal lain, orang ini benar-benar aneh.
            “Well, kau habiskan saja makananmu dulu.” Sambil memberikan sehelai tisu untukku, memang itu mauku, menghabiskan makananku tanpa diganggu orang sepertimu.
            Roti ini lumayan untuk mengganjal perutku hingga nanti pulang sekolah. Tapi roti ini sangat cepat habisnya.
            Setelah rotinya habis, aku berniat untuk kabur dari orang aneh ini. Tapi sebelumnya aku harus mengucapkan terimakasih, karena bagaimanapun juga dia sudah mau memberikan rotinya untukku.
            “Terimakasih atas rotinya.” Belum sempat ia menjawab aku segera lari dan kabur darinya, berharap ia tidak mengejarku. Aku benar-benar lari dengan kencang seperti buronan yang sedang dikejar polisi.
            Napasku terengah-engah saat masuk ke kelas Biologi, lagi-lagi aku jadi pusat perhatian di kelas itu, aku hanya menunduk dan mencoba tetap fokus pada pelajaran.
            Jam sekolah berakhir, sudah saatnya melepas penat. Tapi aku masih memikirkan bagaimana caranya aku pulang. Akhirnya aku bertekad untuk ke belakang sekolah untuk menemukan bantuan. Aku mencari bus yang tadi pagi aku ikuti, tapi disini banyak sekali bus yang warna dan bentuknya sama. Bagaimana aku menemukannya?
            Terpaksa aku harus bertanya pada semua supir yang ada di bus itu satu-persatu. Sungguh melelahkan, hingga bus ke-7 akhirnya aku menemukan bus yang rutenya melewati Denville. Aku pun terselamatkan untuk saat ini. Tapi besok kejadian ini tak boleh terulang lagi.
            Sebisa mungkin aku mencoba menghapal jalan saat aku mengikuti bus itu. Dengan keras aku berusaha menyimpan itu di memori otakku dengan sebaik mungkin.
Hari ini sungguh berkesan walaupun kesannya tidak baik, aku tiba di rumah Jasmine dengan wajah sangat lelah, sampai-sampai Jasmine melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu lagi, apa kau baik-baik saja? Bagaimana keadaanmu? Dan sebagainya.

           
           
4. TEMAN


HARI ini aku tiba di sekolah dengan selamat tanpa harus membuntuti bus seperti kemarin aku merasa sangat bodoh saat itu. Semoga hari ini orang-orang mulai tak peduli padaku. Jadi aku bisa sedikit lega karena tidak lagi menjadi pusat perhatian. Tapi tidak, mereka masih menganggapku makhluk asing yang singgah di bumi. Ini sangat menyebalkan, sampai kapan aku bisa bersosialsasi dengan orang-orang di sini?
            Pelajaran berjalan dengan lancar, hingga tiba waktunya makan siang. Hari ini berlalu begitu cepat. Untung saja hari ini aku tidak bertemu dengan orang aneh yang kemarin itu, ia membuatku takut. Untuk kali ini aku menghabiskan makananku karena hari ini menunya lumayan enak dan aku cukup menikmatinya. Saat aku mencoba dengan keras menggigit daging yang ada di piringku, 3 orang berdiri di hadapanku. Aku mendongak ke atas, ternyata orang yang kemarin yang sudah berani-beraninya membuat emosiku memuncak.
            “Mau apa lagi kau kesini?” Sepertinya sambutanku kurang ramah. “Kau ingin bilang kalau mataku cokelat gelap? Rambutku tidak pirang? Hidungku tidak mancung? Dan apa lagi? Apa kalian merasa tidak nyaman jika melihat sebuah perbedaan, bukankah itu wajar, setiap orang tidak sama.” Aku merasa sangat banyak bicara hari ini.
            Mereka menatapku. “Bukan, maafkan Carol kemarin, dia tidak tahu bagaimana caranya berbicara pada orang lain. Ehm, boleh kami duduk di sini?” Salah satu dari mereka mencoba menjelaskan apa yang telah terjadi disini. Aku mengangguk menandakan ya, namun masih memasang wajah tak enak.
            “Aku suka dengan kulitmu, beberapa orang ingin memiliki kulit cokelat.” Aku tak menggubris mereka, aku terus melahap makanan yang ada di depanku.
            “Siapa namamu?” Kata si cantik sambil mengangkat alisnya yang sangat rapi.
            Aku menatap mereka, sepertinya mereka sungguh-sungguh ingin mendekatiku. Aku harus lebih ramah pada mereka, tak seharusnya aku bersikap begini, ini kan hanya masalah kecil.
            “Luna, , Luna Nafthalena, maaf kalau aku bersikap kasar pada kalian, hanya saja jika aku merasa lapar emosiku tak terkendali.” Aku memasang ekspresi yang kiranya cocok untuk situasi seperti ini.
            “Tidak apa-apa, aku Jullie McAvoy, ini Caroline Dum dan dia Miley Cosgrove.” Oh ternyata yang kelewat tinggi itu Carol dan yang pendek Miley. Dan... cewek cantik ini Jullie. Baiklah aku akan mengingatnya. Mereka melambaikan tangan masing-masing saat disebut namanya.
            “Well, kurasa kita bisa jadi teman.” Miley mengajukan penawaran itu.
            “Ya, tentu saja.”
            Akhirnya aku bisa juga mendapatkan teman, ya aku tahu baru 3 orang tapi kan ini baru permulaan. Kami mengobrol-ngobrol, walaupun terkadang pembicaraan kami tidak nyambung tapi mereka bisa memaklumiku. Ternyata mereka menyenangkan, tidak seperti bayanganku, kukira keadaan kemarin akan berlangsung pada hari-hari berikutnya.
            Ternyata aku sekelas dengan Jullie di kelas Fisika, aku sedikit bersyukur karena setidaknya aku tidak lagi sendirian.
            Ketika jam sekolah berakhir, aku menuju parkiran sekolah bersama-sama teman baruku, sepertinya aku senang sekali punya teman baru.
            “Apa ini motor matikmu? Keren sekali, kau mendapatkannya dimana? Sudah lama aku menginginkannya, tapi ibuku melarangku untuk menggunakan itu.” Miley yang sepertinya sangat tertarik dengan motorku, memang sih motornya sudah sedikit di modifikasi alhasil terlihat sedikit keren. Keseluruhannya bercorak serat kayu atau rotan tepatnya. Jadi kesannya seperti ‘back to nature’. Tapi melihat mereka membawa mobil aku merasa sedikit iri.
            Memang enak ke sekolah naik motor, bisa melihat pemandangan lebih leluasa, dan itu cukup menyenangkan selama hujan tidak turun. Tapi siang ini tanpa diduga hujan turun cukup deras. Terpaksa aku harus berteduh hingga hujannya reda. Aku berdiri termenung memandangi setiap titik air yang jatuh dari teras depan toko yang tutup. Aku tidak bisa menyalahkan Jasmine dengan kejadian ini, bagaimanapun ia sudah sangat baik mau membayar semua biaya sekolahku dan kurasa aku tidak berhak menuntut lebih. Aku berusaha merapatkan bagian-bagian tubuhku agar sedikit lebih hangat.
            Mercedes silver berhenti di depanku, kurasa itu adalah pemilik tokonya, apakah dia akan mengusirku dari sini? Tega sekali dia.
            Kaca depan terbuka, dan muncul sesosok orang yang tak asing lagi bagiku. Orang aneh itu lagi. “Kau sedang apa disitu?!” Kau pikir aku sedang bertamasya? Yang benar saja. Itu adalah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban. “Kau basah kuyup begitu. Naiklah akan kuantar kau pulang!”
            “Tidak trims, aku membawa kendaraanku sendiri!” Teriakku, bukan karena marah-marah, tapi tak akan terdengar jika tidak teriak, hujannya cukup deras.
            Dia turun dari mobilnya, berlari dan berdiri di sampingku. Mau apa orang ini? Kurang puas telah menggangguku beberapa kali?
            “Kenapa kau lari waktu itu? Kau pikir aku akan meminta balasan atas roti itu?” Ia tersenyum, kali ini pandangannya lurus kedepan, tidak lagi memandangiku seperti kemarin.
            “Tidak, waktu itu aku... hanya ingin pergi ke toilet.” Kata-kataku terbata-bata karena mencoba menutupi kebohongan.
            “Kupikir kau lari karena ingin menghindariku.”
            “Tentu saja tidak.” Padahal dugaannya itu sangat tepat. “Kenapa kau masih disini? Kau tidak pulang?”
            “Bagaimana aku bisa membiarkan wanita sendirian saat hujan-hujan seperti ini? Sangat berbahaya.”
            “Kenapa kau begitu peduli padaku? Bahkan kau tidak mengenalku sama sekali.” Aku ingin mendengar penjelasan darinya kenapa dari kemarin ia terus menggangguku.
            “Bukankah setiap manusia harus saling peduli? Kau merasa terganggu ya? Maaf.”
            “Kau tidak perlu merasa bersalah begitu. Terima kasih telah mempedulikanku.” Aku jadi tidak enak hati setelah dia mengatakan hal itu.
            “Namamu Luna kan?” Ia menoleh ke arahku, menunggu jawaban dari bibirku.
            “Dari mana kau tahu namaku?” Aku membalas memandanginya.
            Ia mengalihkan pandangannya ke arah jalan raya. “Setiap orang di sekolah membicarakanmu. Tak ada yang tidak tahu tentangmu.”
            “Benarkah? Aku tidak tahu aku seterkenal itu.”
            “Jangan tersinggung, mereka menganggapmu aneh.” Ia menahan tawa, menyebalkan sekali padahal aku sangat senang ketika dia bilang tak ada yang tidak tahu tentangku, tapi semuanya pupus. Kenapa ia begitu terang-terangan bilang aku ini aneh? Setidaknya menjaga perasaanku sedikit, apa tidak bisa?
            “Aku Zach Clambert, teman sekelasmu di kelas Matematika.”
            “Oh ya? Aku tidak melihatmu kemarin.” Aku menggosokkan kedua telapak tanganku karena suhunya semakin dingin.
            “Jelas saja, kau terlalu terpaku dengan kertas coretanmu itu. Guru pun tidak kau perhatikan.” Ternyata orang yang kemarin terus mengawasiku di sepajang kelas Matematika adalah dia. Pantas saja terasa tidak nyaman.
            Aku terus mengobrol dengannya hingga hujannya reda. Lumayan, suasana jadi tidak membosankan, setidaknya ada yang bisa kuajak bicara. Hujannya sudah reda, sudah waktunya aku pulang, aku pun menyuruhnya pulang juga, sebelum hari semakin sore. Lagi-lagi aku kedinginan karena angin dingin yang terus menyerangku. Untungnya saja aku tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk sampai di rumah Jasmine. Aku menoleh ke belakang, mobil silver itu masih di belakangku sejak tadi. Aku berhenti.
            “Apa rumahmu searah dengan jalan ini?” Aku menoleh ke belakang untuk bicara padanya.
            “Tidak.” Ia menongolkan kepalanya dari kaca mobil yang terbuka.
            “Lalu sedang apa kau disini?”
            “Aku hanya memastikan kau baik-baik saja sampai di rumah.” Senyumnya mengembang.
            Aku menggeleng, yah terserah kau sajalah, aku melanjutkan perjalanan, benar saja ia membuntutiku hingga rumah. Untung dia lumayan tampan. Biarlah dia begitu, lumayan bodyguard gratis.
            Sesampainyaku di rumah Jasmine, aku membuka pintu dan masuk, aku telah membasahi lantai dengan tetesan air yang mengalir dari badanku yang basah kuyup, ternyata Jasmine dan Alex sudah menantiku sejak tadi dengan wajah cemas.
            Jasmine menoleh dan langsung menghampiriku. “Luna, kau tidak apa-apa? Kau cepat ganti baju ya? Aku akan membuatkanmu cokelat panas agar tubuhmu hangat.”
            “Aku tidak apa-apa, tak perlu terlalu mengkhawatirkanku.” Gigi-gigiku gemelutukan tidak beraturan karena kedinginan.
            Aku menuju kamar dengan kaki menjinjit karena takut akan semakin membasahi lantai rumah. Kukeringkan tubuhku dengan sebuah handuk, handuk kecil pemberian Anggie, dia sahabat terbaik yang pernah kumiliki. Tapi sekarang ia jauh, aku hanya dapat berkomunikasi dengannya lewat twitter. Aku bisa mengaksesnya tiap malam karena Jasmine sudah menyiapkan komputer lengkap dengan jaringan internetnya, tapi aku cukup tahu diri untuk tidak terus menggerogoti Jasmine. Aku memakainya hanya jika ada yang penting.



















5. MA-G-ZINE


SUASANA disini sangat bising, naik ke atas meja dan saling melempar makanan. Tapi aku tidak merasa terganggu karena aku sedang tidak berkonsenterasi memakan makan siangku. Aku terus memikirkan ucapan Jasmine semalam. Dia bilang dia merasa bersalah karena ia hanya membelikanku motor matik, dan ia sempat menawariku sebuah mobil. Tapi langsung kutolak dengan sangat tegas, sudah cukup aku merepotkan keluarganya, aku tidak mau menambah beban pikiranku lagi.
            Senyuman seorang cowok di seberang sana membuyarkan lamunanku, senyumnya sangat menawan tanpa beban.
            Aku mencolek Jullie, “hey, apakah dia sedang tersenyum padaku?” Tetap memandang ke arahnya.
            “Siapa? Orang itu?” Menunjuknya. Aku mengangguk. “Ya, dia memang begitu pada setiap orang yang ia lihat, walaupun ia tidak mengenalnya sama sekali, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan orang itu. Dia seperti ingin menunjukan pada semua orang bahwa giginya itu sangat bagus. Dia itu kelewat ramah, itu yang membuat para cewek-cewek begitu memujanya.” Jelasnya panjang lebar.
            Aku sudah merasa senang saja, kupikir dia menyukaiku. Ya, aku tidak akan mengharapkan aku akan menemukan cinta sejatiku disini. Aku selalu mengalami kegagalan soal cinta. Jadi apa lagi yang mesti aku harapkan, apalagi ini Amerika.
            “Luna, kau ini pindahan dari mana?” Miley dengan mulut penuh keripik.
            “Indonesia, memangnya kenapa?”
            “Kupikir kau dari Bali.”
            “Sebenarnya Bali itu adalah salah satu pulau yang ada di Indonesia.” Jelasku.
            “Oh... jadi begitu, maaf aku tidak tahu.” Wajahnya dengan raut merasa bersalah.
            “Tidak apa-apa kau tidak sendirian.”
            “Aku pernah kesana.” Caroline menyela pembicaraan kami. “Orang disana ramah-ramah kan?”
            “Kau mau menyindirku ya?” Aku sedikit tersinggung karena awal pertemuan kita, aku memang sedikit tidak ramah pada mereka.
            “Carol, sebaiknya kau tidak usah bicara.” Jullie begitu pengertian menyarankan hal itu dengan sangat bijak.
            “Maaf...” Bibirnya merapat dan seolah tak ingin mengatakan apa-apa lagi.
            Saat aku kembali menoleh ke arahnya, ia sudah lenyap entah kemana. Sudahlah, sebaiknya aku tidak terlalu banyak berharap. Benar kata Dhea, aku tidak akan mendapatkan pacar sampai aku menikah, tidak akan. Dhea, aku jadi teringat padanya, pasti sekarang ia sedang tersenyum lebar dan hari-harinya begitu indah karena aku tak ada disana. Dia cewek paling menyebalkan diseluruh Indonesia. Dia selalu beranggapan bahwa dirinyalah yang terbaik, huh, dan sepertinya ia benar-benar tidak suka padaku sama sekali. Tiada hari tanpa bertengkar dengannya, dalam hal apapun. Dia itu cerewet seperti nenek tua yang kesepian. Aku beruntung setidaknya aku bisa menghindarinya saat ini. Aku tidak perlu mengejangkan urat-uratku setiap hari.
            Tiba-tiba datang 3 cewek supermodis dan kayaknya sih populer, buktinya semua pandangan terarah pada mereka. Mereka duduk disebuah bangku yang sepertinya sudah di booking. Dari auranya sepertinya mereka akan tidak menyenangkan.
            Setelah mereka duduk, ini bagian yang tidak kusuka, mereka memandang ke arahku, entah apa yang mereka pikirkan. Aku mencoba mengalihkan perhatianku, namun hatiku selalu tertuju pada mereka, aku merasa mereka masih melakukan hal yang sama seperti tadi. Situasi ini mulai tidak nyaman.
            “Mereka itu siapa? Sepertinya dari tadi pandangannya tidak bisa terlepas dariku.” Berusaha tak memandang mereka.
            “Mereka itu ‘ma-g-zine’ kusarankan hati-hati dengan mereka.” Miley menyuruhku waspada dengan memperagakan tangannya membentuk sebuah cengkeraman sesuatu yang buas menandakan bahwa mereka memang berbahaya.
            “Sudah, jangan pikirkan mereka, mereka itu tidak penting, lagipula mereka tidak akan baik padamu, mereka hanya mau berteman dengan orang populer.” Jullie yang sepertinya menyimpan dendam pribadi pada mereka, itu terlihat dari cara dia bicara.
            Sesekali aku menoleh ke arah mereka, dan tetap sama. “Jangan melihat mereka seperti itu, mereka tidak akan suka. Habiskan makananmu, sebelum aku yang menghabiskannya.” Carol, makanan penuh di mulutnya, membuatku ingin muntah.
            “Kau habiskan saja aku sedang tidak nafsu makan. Aku mau mengambil sesuatu di loker, sampai bertemu nanti pulang sekolah.”
            “Luna, aku ikut. Aku juga ingin kesana.” Miley lari mengejarku.
            Saat melewati koridor, aku merasakan perasaan yang sungguh tidak nyaman. Mata-mata mereka terus mengawasi setiap langkahku, aku hanya menunduk menghilangkan rasa tidak nyaman ini.
            “Hey, gadis Bali! Apa nanti malam kau ada acara? Bagaimana kalu motel didepan club itu? Ayolah $10 bagaimana?” Seorang cowok yang menegurku dari belakang.
Orang ini benar-benar minta diajarkan bagaimana caranya bersopan santun. Aku sedikit gerah dengan ucapannya itu, refleks kubalikkan badanku dan menghampirinya.
            “Sudah, Luna jangan hiraukan dia, dia hanya bercanda.” Miley terus menarik tanganku, namun itu tidak dapat menghentikan langkahku.
            “Hey, akhirnya kau mau juga, wow apa sedang ada discount? Murah sekali..hahaha.” Teruslah tertawa dengan teman-temanmu yang sama kurangajarnya denganmu.
BUG!!!!!!
Sepertinya menonjok wajahnya sudah cukup untuk membungkam mulutnya.
“Hey!!! Apa-apaan ini?!!!” Pipinya memerah seperti tomat yang sudah kelewat matang dan matanya terus melotot.
“Dengar,,, kau ini tidak layak disebut pria... aku tidak bisa dibeli dengan uang, lebih baik kau gunakan saja uang itu untuk menyewa satpam untuk menjaga mulutmu itu.”
Sepertinya orang-orang itu tidak akan suka kalau aku melakukan hal ini, tapi mau bagaimana lagi? Dia harus tahu bagaimana cara menjaga etika. Lagi-lagi aku membuat diriku menjadi pusat perhatian. Aku beranjak pergi setelah menatap matanya tajam-tajam.
“Kau ini gila ya? Apa kau tidak berpikir dulu sebelum kau melakukan itu?” Miley mengejarku dan menyesuaikan langkahku yang begitu cepat.
“Memangnya kenapa?” Jawabku santai.
“Kau dalam masalah besar.” Matanya terbelalak menatapku.
Langkahku terhenti mencoba mencerna ucapannya, tapi sia-sia. “Masalah apa?”
“Kau tidak tahu siapa dia?”
“Tidak, dan bagiku itu tidak penting.” Kulanjutkan perjalanku tadi yang sempat tertunda.
“Dia itu anak orang paling penting di sekolah ini.” Masih mencoba menyesuaikan langkahnya.
“Oh... aku pikir kau ingin bilang kalau dia itu anak presiden.”
“Kau bisa dikeluarkan dari sekolah ini.”
Langkahku terhenti lagi, aku akan dikeluarkan dari sekolah ini? Kini langkahku melambat, mancoba memikirkan hal terburuk apa yang akan terjadi. Aku dikeluarkan? Di satu sisi aku senang karena aku tidak perlu sekolah disini lagi, tapi disisi lain aku memikirkan Jasmine, usahanya akan sia-sia membiayai semua kebutuhan sekolahku. Aku akan mengecewakannya. Aku akan mengecewakan semua orang. Aku memang tidak berguna. Lalu apa yang harus kulakukan? Kupandangi wajah Miley yang mulai khawatir padaku, aku menghela napas sejenak dan meninggalkannya.
“Luna!!!!”
Mungkin Miley akan sedikit kesal karena aku meninggalkannya begitu saja. Tapi aku harus sendiri dulu untuk merenungkan apa yang tadi aku lakukan adalah salah. Aku tak akan beranjak dari bangku ini sebelum pikiranku mulai tenang. Bangku di depan taman, untung saja disini sedang sepi. Jadi aku bisa melepas semua kegundahanku sejenak disini. Kupejamkan mataku dan menarik napas sedalam mungkin, breathing so deep.
“Hi!” Suara cowok yang sepertinya tepat di depanku.
Perlahan kubuka mataku, alangkah terkejutnya aku saat melihat sesosok wajah di depan mataku. “Zach?!”
Ia tersenyum dan duduk di sampingku mencari posisi yang nyaman. “Kau sedang apa di sini sendirian? Sepertinya kau senang sekali menyendiri, pasti hidupmu penuh masalah.”
“Tahu apa kau? Memangnya setiap orang yang sendiri pasti punya masalah?” tapi memang benar, hidupku penuh masalah. Bukan, bukan hidupku yang penuh masalah tapi akulah masalahnya, aku yang selalu membuat segala sesuatunya menjadi sebuah masalah.
Ia mengusap-ngusap rambutnya yang cokelat gelap. “Terlihat dari wajahmu, cobalah untuk tersenyum.”
“Aku pernah tersenyum, hanya saja kau tidak melihatnya.”
“Pernah? Kau harus selalu tersenyum.” Ia tertawa geli, memangnya apa yang lucu? Aku memandangnya sinis, “Ok, ok! Jangan marah, tapi aku serius, cobalah tetap tersenyum walaupun hanya kepada satu orang. Sekarang aku ingin satu orang itu adalah aku.”
Di saat tegang seperti ini mana bisa aku tersenyum. Di sini, di otakku masih berjalan-jalan sugesti buruk. Aku menunduk, sekarang aku malah ingin menangis, aku butuh sebuah penopang agar hatiku tidak jatuh, setidaknya sebuah keluarga. Aku butuh orang-orang yang mau mendengar curahan hatiku, ibu dan ayah. Ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Seolah aku tak ingin orang lain melihatku menangis. Tapi tak ada sedikitpun air mata yang jatuh, tertahan disini. Di dada. Aku bisa merasakan sesaknya amarah itu sekarang.
“Kau kenapa? Perkataanku menyinggungmu ya? Apa kau sedang sakit?” Ia menengokkan kepalanya dan mencoba malihat wajahku dari celah-celah jari yang menutupi.
Kutampakkan lagi wajahku. “Tidak, aku tidak apa-apa. Aku harus masuk kelas sekarang, terimakasih mau menemaniku, maaf jika aku tidak bisa menyambutmu dengan baik.”

Benar saja, tak lama kemudia aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Harus kuakui, aku sedikit takut. Kutundukan kepalaku selama melintasi koridor yang penuh dengan mata-mata yang mengerikan itu.
            Apapun yang terjadi aku harus siap. Lagipula tidak terlalu buruk jika aku dikeluarkan dari sekolah ini. Jasmine tak perlu lagi repot-repot membiayai sekolahku di sini. Aku bisa pulang ke Indonesia dan mencari uang sebanyak mungkin untuk biaya sekolah. Entah bagaimana caranya. Mungkin aku bisa menjadi pembantu rumah tangga yang memiliki anak seumuran denganku, lalu sang majikan akan berbelas kasihan dan membiayai sekolahku sampai selesai dengan gelar sarjana. Hebat. Seperti sinetron beratus-ratus episode saja. Tapi itu rencana B. Kemungkinan besar setelah kepulanganku dari sini aku akan bekerja membantu ibuku tapi bukan sebagai pembantu rumah tangga. Apapun itu. Kalau rencana A tidak berhasil, rencana B juga tidak terlalu buruk.walaupun kemungkinannya kecil.
            Aku memang sangat mendambakan sekolah setinggi mungkin, karena dengan begitu, aku bisa mendapatkan apapun dengan mudah. Tapi bukan hal yang mudah untuk meraih itu semua, bagiku.
            Kuhentikan langkahku saat daun pintu ruang kepala sekolah tepat di hadapanku. Kuraih gagang pintu yang dingin itu. Sebenarnya tidak terlalu terasa dingin karena tanganku sama dinginnya dengan gagang pintu itu menahan rasa grogi.
            “Permisi pak.” Setelah susah payah aku mengendalikan tanganku yang terus gemetar hingga pintu bisa dibuka.
            “Luna Nafthalena, masuklah kami sudah menunggumu.” Seorang pria setengah baya tengah duduk tenang sambil melintir ujung kumisnya. Di sampingnya terlihat kepala sekolah yang sepertinya sedang keringat dingin dan gemetar membayangkan apa yang akan terjadi. Mungkin dia berpikir dia akan dipecat, turun pangkat dan gaji atau sebagainya karena ulahku. Tapi menurutku itu berlebihan. Ia melototiku dengan sikap mawas diri. Menyebalkan.
            “Saya rasa saya sudah tahu apa masalahnya. Saya minta maaf. Saya siap menanggung segala konsekuensinya. Orang yang bijak adalah orang yang tahu mana yang salah dan mana yang benar.” Aku terus berbicara panjang-lebar, mungkin sikapku kurang sopan tapi sangat sulit mengendalikan diri yang tengah dilanda kegelisahan.
            Pria itu mengerutkan keningnya dan mendadak tawanya meledak hebat. Kepala sekolah terbelalak karena kaget. Dalam situasi seperti ini aku sendiri bingung harus memasang ekspresi seperti apa.
            Ia terus tertawa, cukup lama. Mungkin beberapa menit. Kepala sekolah masih dalam pose semulanya.sekarang aku bisa merasakan darahku beredar ke seluruh tubuh yang sebelumnya beku karena ketakutan. Kira-kira berapa lama lagi aku harus menuggunya sampai ia saki perut karena terlalu banyak tertawa? Entah apa yang sedang dipikirkannya. Apakah ia sedang membayangkan kepala sekolah memakai baju balet dan berlenggang di atas panggung dengan pancaran cahaya yang memantul di kepalanya yang plontos sebagian itu?
            “Maaf, Mr. Adam Hanshen... bukan maksud saya mengganggu, hanya ingin mengingatkan kepada tujuan awal kita.” Akhirnya kepala sekolah berani angkat bicara setelah diam terpaku selama beberapa menit.
            Sekejap Mr. Adam Hanshen menghentikan tawanya. “Oke! Maaf ... huh! Ehm!” Ia mencoba memulihkan suaranya yang agak serak. “Aku terlalu bersemangat hari ini.”
            Aku menarik napas sedalam-dalamnya berharap aku masih baik-baik saja setelah keluar dari sini.
            “Kau ini gadis yang sok tahu. Tapi aku suka. Tidak usah memasang ekspresi seperti itu. Aku tidak akan melukaimu.” Mr. Adam merangkul pundakku. “Aku memang sempat kesal padamu karena kau telah membuat keributan di sekolah ini. Itu melanggar peraturan namanya.” Ia melepaskan pundakku dan berjalan menghadap jendela sambil mengawasi murid-murid yang sedang bertanding baseball.
            Aku tetap pada posisi semula tak bergerak sama sekali.
            “Tapi aku bangga padamu!” Kini ia berbalik badan hingga tepat di hadapanku.
            “Maaf?” Aku sungguh tidak percaya ia akan mengatakan hal itu.
            “Ya. Harus ada yang berani melawan Shantel anakku. Bagaimana pun juga ia sudah melakukan kesalahan. Aku harus berbuat adil kan? Anak itu memang sangat sulit diajak berkompromi. Ia akan melakukan apa saja yang ia suka.” Jelasnya.
            “Jadi aku tidak dikeluarkan dari sekolah ini?” Aku coba meyakinkan diriku sendiri.
            Tawanya meledak lagi. “Kau kira aku akan mengeluarkanmu dari sekolah ini hanya karena memukul anakku yang memang kurangajar? Itu sama saja dengan memenjarakan orang karena ketahuan membunuh seekor kutu.” Ia bergeleng-geleng sendiri sambil melanjutkan tawanya.
            Aku menoleh ke arah kepala sekolah. Sekarang wajahnya sudah sedikit tenang karena telah memastikan ia tidak turun jabatan.
            “Tapi.” Aku menoleh lagi pada pria itu. “Kau tetap mendapatkan hukuman karena membuat keributan di lingkungan sekolah. Aku punya tugas untukmu.”

Aku keluar dari ruang kepala sekolah dengan muka murung. Kutemui teman-temanku lagi di kantin dimana kami tadi sedang berbincang hingga aku dipanggil ke ruang kepala sekolah.
            Tak ada pandangan mata yang terlepas dariku disana. “Kalian ini kenapa? Aku tidak suka cara kalian mengawasiku.”
            “Padahal kita baru saja berteman. Tapi----aku bisa membantumu merapihkan segalanya. Dan jangan lupa untuk selalu kirim surat atau hubungi kami ya?” Miley menunjukkan sikap terpukulnya.
            “Aku akan merindukanmu, Luna.” Tiba-tiba Caroline dan yang lain memelukku.
            Kucoba melepaskan pelukan mereka. “Kalian ini bicara apa sih?”
            “Kau baik-baik saja?” Jullie mengangkat alisnya yang hitam pekat.
            “Tentu. Lebih baik daripada biasanya.” Aku berusaha meyakinkan mereka. Sepertinya ada kesalahpahaman di sini.
            “Kau tidak dikeluarkan dari sekolah ini?” Mata-mata mereka terus mengawasiku dengan seksama.
            Oh jadi ini masalahnya. Mereka pikir aku dikeluarkan dari sekolah ini. Ini harus kuluruskan. “Sebenarnya, memang benar-benar tidak. Tapi kalian tahu? Aku diberi tugas untuk dikumpulkan minggu depan. Ini menyebalkan.”
            “Menyebalkan?” Miley mengulanginya. “Kau ini beruntung!”
            Beruntung apanya? Mendapat setumpukan tugas itu dibilang beruntung? Yang benar saja.

Beruntung hari ini tidak turun hujan. Jadi aku pulang dengan lancar. Kupacu motorku dengan begitu cepat, karena aku tak sabar ingin cepat-cepat sampai di rumah Jasmine. Ada hal yang ingin kubicarakan padanya.
            Tak peduli dengan angin dingin yang menerpaku di sepanjang perjalanan. Sepertinya aku sudah mulai sedikit terbiasa dengan udara di sini. Walaupun baru beberapa hari aku di sini, dan aku sempat flu sedikit tapi itu hilang dengan sendirinya.
            Sesampainya di rumah Jasmine, aku langsung memarkirkan motorku di garasi dan menghampiri Jasmine yang sedang terpaku di depan laptopnya, di ruang tengah. Suara hentakan kakiku tak mampu mengalihkan perhatiannya.
            “Mmmmm....” Gumamku sebelum mengatakan apapun.
            “Kau sudah pulang?” Tetap terpaku pada layar laptop.
            Aku duduk di sampingnya. “Ada yang ingin aku bicarakan.”
            Ia menutup laptopnya menggeser tubuhnya dan tepat berada di depanku. “Bicaralah, aku akan mendengarkan.”
            “Tapi kelihatannya kau sedang sibuk, mungkin lain kali saja.” Aku merasa telah mengganggunya. Akhir-akhir ini memang kalihatannya Jasmine sangat sibuk dengan pekerjaannya.
            “Tidak, itu bisa dilanjutkan nanti. Sekarang bicaralah.” Sambil menggeser laptopnya jauh-jauh.
            “Sebenarnya aku bingung harus melakukan apa di waktu luang. Jadi kupikir kenapa aku tidak bekerja sambilan saja. Hitung-hitung untuk tambahan jajanku.”
            “Tidak buruk..... Ok! Aku punya banyak teman yang memiliki toko, siapa tahu kau bisa bekerja di sana. Akan aku usahakan.” Ia mengangguk. “Ada lagi?” Lanjutnya.
            “Tidak, terima kasih. Maaf mengganggumu.” Aku beranjak dari tempat duduk dan mengambur ke kamar.


Aku cukup berusaha keras untuk mengerjakan soal-soal Matematika ini sampai akhirnya aku bisa menemukan jawaban yang tepat. Tiba-tiba suara ketukan pintu membuyarkan konsenterasiku. Aku bangun dari kursi dan capa-capat membukakan pintu untuk orang yang ada di baliknya.
            “Maaf mengganggumu.” Senyum Jasmine mengembang.
            “Tidak, ada apa?” Kupersilahkan ia masuk ke kamarku.
            “Kamar ini lebih rapi dibandingkan sebelum kau datang ke tempat ini.” Sambil memerhatikan setiap sudut-sudut ruangan. “Begini..... yang aku tahu, kau belum pernah menghubungi ibumu dari hari pertama kau di sini sampai sekarang. Ada masalah apa?” Lanjutnya.
            “Tidak, tidak sama sekali. Hanya saja belakangan ini aku cukup sibuk, jadi belum sempat.” Aku buru-buru menyanggahnya. Padahal aku malu karena terus merepotkan Jasmine.
            “Lebih baik kau bicara padanya, aku memang beberapa kali menghubunginya untuk memberitahu bahwa kau baik-baik saja di sini. Tapi, apa tidak lebih baik kalu kau yang langsung meyakinkannya?”
            Terdengar seperti saran, ya itu memang saran. Aku hanya mengangguk beberapa kali.
            “Besok kau ada acara?”
            “Mungkin aku akan hang out dengan Jullie. Memangnya ada apa?” Besok hari Minggu jadi aku memang tidak pergi ke sekolah.
            “Kalau kau besok tidak ada acara, aku ingin mengajakmu ke toko temanku. Tadi aku sudah meneleponnya, katanya dia bisa membantumu. Mungkin besok kau bisa melihat keadaannya dulu, kira-kira kau betah atau tidak. Katanya kalau kau mau, kau bisa bekerja mulai Senin.” Ia mengangkat alisnya yang kelewat rapi.
            “Baiklah, kalau begitu aku akan hang out dengannya lain kali saja. Besok aku bisa.” Sebenarnya masih menimbang-nimbang jika aku harus membatalkan janji, apalagi ini pertama kalinya aku keluar dengan teman-teman baruku. Tapi ini kan lebih penting, aku akan ikut lain kali saja.
            “Tapi kalau kau sudah ada janji dan tidak bisa dibatalkan lebih baik lain kali saja ke toko itu. Tapi, semua tergantung padamu.”
            “Tidak apa-apa, mereka pasti mengerti.”
            “Baiklah, besok jam 2.” Ia memberikan telepon nirkabel padaku. “Jangan membuatnya khawatir. Kira-kira sekarang di sana jam 9 pagi.” Ia tersenyum dan beranjak dari tempatnya semula menuju ke luar kamar.
            Aku mulai menekan tombol-tombol telepon itu sesuai dengan angka-angka pada kertas yang Jasmine berikan untukku. Masih menunggu hingga bunyi beep ini berhenti sebagai tanda telepon telah diangkat.
            “Hallo....” Kata-kata yang sering diucapkan orang setiap kali menelepon atau menerima telepon.
            “Ya...?” Suaranya masih tak asing.
            “Ibu....”
            “Luna? Bagaimana keadaanmu?” Suaranya terdengar sedikit parau di telingaku.
            “Baik. Ibu sendiri bagaimana? Tiva dan ...... ayah?” Suaraku merendah sedikit lembut dari pada biasanya.
            “Baik. Sekarang Tiva sudah mendapatkan beasiswa, jadi beban ibu sedikit berkurang.”
            “Syukurlah, aku senang mendengarnya.” Terdengar ibu sedang batuk-batuk di depan telepon. “Ibu kenapa? Apa ibu baik-baik saja?”
            “Ya..... hanya batuk biasa, tidak lama lagi pasti akan sembuh.” Suaranya makin serak.
            “Bagaimana dengan........... ayah?” Canggung rasanya menyebut nama itu. Tubuhku langsung gemetar ketika mengingatnya.
            “Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Hidupnya lebih terjamin di sana. Ayahmu sangat baik-baik saja sekarang.”
“Apa ayah masih memendam  amarahnya padaku?”
          “Tentu tidak. Dia sangat menyayangimu.”
            “Suara ibu terdengar sedikit kurang yakin. Apakah menurut ibu tindakanku benar di mata orang-orang dan di hadapan Tuhan?”
            “Tentu, kau telah melakukan apa yang seharusnya kau lakukan.” Kami tediam sejenak. Aku masih memikirkan ayahku, tentang perasaannya sekarang. Sementara aku tak tahu apa yang sedang dipikirkan ibu. “Oh ya, kemarin ibu bertemu dengan kakak iparmu. Dia masih seanggun dulu, ketika kakakmu manikahinya.” Suaranya yang serak memecah kesunyian.
            “Benarkah? Jadi, apa kak Radit sudah kembali?”
            “Tidak, ternyata mereka sudah bercerai satu setengah tahun yang lalu. Dan tidak ada yang tahu di mana dia sekarang.”
            “Sudahlah bu, anggap saja dia sudah tak ada. Biar ia manikmati hidupnya sendiri. Dia sudah tidak membutuhkan kita. Sepertinya aku harus menyudahi pembicaraan ini. Salam untuk semuanya. Terutama ayah. Aku selalu menyayangi kalian, yang paling penting jaga kesehatan. Lain kali aku pasti akan menghubungi ibu lagi.” Kututup teleponnya.
            Masih memikirkan kakakku Radit, aku tak mengerti jalan pikirannya. Dia sungguh keterlaluan, sampai masalah sebesar ini pun kami tidak diberi tahu. Hingga saat ini entah kemana dia pergi. Dia memang belum bisa berpikiran dewasa. Dia memilih untuk menikah muda, akhirnya kandas di tengah jalan. Ia tidak memikirkannya matang-matang sebelum ia bertindak. Belum genap satu tahun rumah tangganya hancur berantakan. Entah apa maunya.
            Malam ini aku berdoa semoga kak Radit cepat ditemukan. Agar aku bisa membawanya pulang menemui ibu. Kasihan ibu, ia masih terus mencarinya walaupun orang yang dicarinya tak peduli sama sekali, agar aku bisa menghajarnya langsung untuk meluapkan rasa kesalku selama ini. Dan semoga aku cepat mendapat pekerjaan sampingan agar aku tak lagi banyak merepotkan keluarga Alex.
Malam ini malam Minggu tapi tak ada yang istimewa, seperti hari-hari biasa. Sepi dan hampa. Padahal ini belum larut, bahkan kalau orang-orang tahu sedikit aneh bila tidur pada jam-jam seperti ini. Tapi apa peduli orang tentangku? Tak ada, jadi kuacuhkan kebiasaan itu dan siap merangkai mimpi.


















6. GET A JOB


HARI ini setelah beres mencuci pakaian dan beres-beres rumah membantu Jasmine, aku siap untuk pergi ke toko teman Jasmine yang semalam ia bicarakan. Semoga tokonya menyenangkan jadi aku betah di sana. Kami hanya pergi berdua. Sementara Alex dan Chad pergi berlibur entah kemana. Jasmine mengajakku hari ini karena hanya hari Minggu saja ia bisa bebas dari pekerjaannya.
            Tak terlalu jauh dari rumah mungkin hanya menghabiskan waktu 20 menit untuk sampai di sini. Ternyata kami berhenti tepat di depan cafe yang menjual berbagai macam kue tart dan kopi. Tidak buruk.
            Lonceng pintu berbunyi ketika kami masuk. Kami menemui seorang wanita cantik yang sepertinya sudah menungggu kami dari tadi. Senyumnya mengembang walaupun kelihatannya seperti bukan remaja lagi auranya tetap memancarkan kesejukan. Ia memberi tahu apa saja yang harus aku lakukan di sini. Hanya melayani pelanggan yang datang dan tetap tersenyum. Kurasa tidak terlalu berat. Hanya berdiri dan mengambilkan pesanan yang ia minta. Tak perlu terlalu menguras tenaga. Aku diajaknya berkeliling melihat setiap ruangan di cafe itu. Terlihat begitu sibuk apalagi ini akhir pekan tak heran bila pengunjung terus berdatangan.
            Wanita itu membiarkan aku melihat-lihat setiap sudut cafe ini. Aku memasuki ruangan yang ternyata adalah sebuah dapur. Aroma berbagai macam kue langsung menyergap hidungku. Tanpa pikir panjang aku langsung keluar dari ruangan itu sebelum aku jadi benar-benar lapar dan tak bisa kukendalikan lagi emosiku. Aku kembali ke tempat duduk di mana Jasmine dan temannya mengobrol. Sambil menikmati secangkir kopi yang sudah dihidangkan utukku, aku megamati keadaan sekitar.
            Di antara wajah tamu-tamu yang datang ada satu wajah yang tidak asing bagiku. Aku berusaha mengingatnya dengan keras siapa orang itu. Ia duduk dengan 3 cowok yang sepertinya seumuran dengannya. Wajah itu begitu familier. Setelah beberapa menit cukup menguras otakku ternyata kepenasaranku akhirnya terjawab. Orang itu adalah cowok yang kutemui di kantin sekolah sambil bersandar di tembok dan tersenyum padaku. Ya, dialah orang yang kelewat ramah itu. Dia memang benar-benar tampan, so cute, benakku. Tanpa sadar ternyata ia juga sedang memerhatikanku. Tapi kali ini ia tidak tersenyum, wajahnya malah tampak seperti orang kebingungan. Beberapa menit kami saling berpandangan aku menunduk sebelum terjadi hal yang memalukan. Mataku fokus pada sepotong kue tart yang ada di depanku, tapi pikiranku masih tertuju padanya.
            “Baiklah, aku titip Luna di sini. Kalau dia melakukan kesalahan tolong beri tahu saja supaya ia bisa memperbaikinya. Kapan-kapan kau yang bekunjung ke rumahku ya?” Jasmine yang tiba-tiba berdiri dan berpamitan pulang.
            Dengan otomatis tubuhku berdiri tegak dan berpamitan juga. Aku mencoba menoleh ke arah cowok itu lagi. Entah baru saja atau sejak lama, ia memerhatikanku. Karena ia tidak tersenyum juga akhirnya aku duluan yang tersenyum padanya. Lagipula kan aku mau keluar dari tempat ini jadi hitung-hitung salam perpisahan, ia pun membalas senyumanku dengan senyuman yang sungguh menawan, sangat manis dan sepertinya tulus.

Kali ini Jasmine ingin mengajakku ke apartemen dimana John tinggal. Tapi sayang aku tidak membawa ipodnya, jadi kurasa aku akan mengembalikannya lain kali saja. Kuperhatikan jalur menuju apartemennya dengan cermat supaya suatu saat nanti aku bisa mengunjunginya sendiri tanpa merepotkan Jasmine. Tiba-tiba handphone di sakuku berdering nama Jullie tampak pada layar. Kuterima panggilan darinya.
“Ya Jullie, ada apa? Bukankah aku sudah mengabarimu kalau aku tidak bisa datang ke acara kalian?”
“Ya benar, tidak ada apa-apa, aku hanya ingin mengobrol saja denganmu.”
“Hari ini kalian pergi kemana saja?” Tanyaku penasaran.
“Nonton ke bioskop, makan di luar. Dan sekarang kami sedang berada di pantai, tapi sayang kau tidak ada di sini. Padahal akan lebih mengasyikkan kalau kau juga ikut.”
“Aku menyesal. Lain kali aku harus ikut dengan kalian. Kau di sana dengan siapa saja?”
“Hanya kami berempat.”
“Berempat?”
“Ya, aku, Carol, Miley, dan pacarku.”
“Oh, pacarmu? Kau tidak pernah mengenalkannya padaku.”
“Ah, itu tidak penting. Lagipula ia masih satu sekolah kok dengan kita. Baiklah, sekarang giliranmu. Hari ini kau sudah kemana saja?”
“Aku baru mengunjungi toko kue, dan mulai besok aku sudah bisa bekerja di sana. Sekarang aku sedang dalam perjalanan menuju Princeton.”
“Syukurlah kalau begitu. Semoga kau menemukan yang terbaik di sana. Dan semoga sekalian dapat pacar di sana. Haha.” Ia terkikik sendiri.
Aku memutar bola mata. “Trims telah mendoakanku, semoga Tuhan mendengarkan doamu.”
“Well, aku hanya bercanda kawan. Sepertinya aku harus menyudahi pembicaraan ini, mereka sudah memenggilku. Ok, sampai jumpa di sekolah!!!” Nadanya sangat riang. Telepon pun terputus.
“Maaf menggagalkan acaramu.” Jasmine yang ternyata dari tadi mendengarkan pembicaraanku dengan Jullie.
“Tidak, ini bukan salahmu. Justru aku ingin cepat-cepat mendapatkan pekerjaan.”
Kami membisu lagi dalam perjalanan. Aku bukan orang yang cukup pandai mengajak orang lain mengobrol. Aku benar-benar tidak memiliki keahlian itu. Mungkin sampai-sampai orang lain bosan bila bersamaku. Kecuali dengan orang yang sudah sangat dekat denganku, pembicaraan sekecil apapun aku bisa mengubahnya menjadi pembicaraan yang seru.
Hujan turun lagi walau tidak begitu deras. Tapi tetap saja suhu udara akan menurun dan semakin menurun hingga membuat gigiku gemelutukan. Kira-kira berapa lama ya? Aku tidak memperhatikan waktu, sepertinya sudah cukup lama, akhirnya kami sampai juga di apartemen John. Kami naik ke lantai 18 dengan lift. Aku tidak bisa membayangkan bila liftnya mati dan harus berjalan lewat tangga darurat. Bagaimana nasib orang yang tinggal di lantai paling atas? Yaitu lantai 25. mungkin lebih baik berdiam diri di kamar sampai liftnya diperbaiki.
Di dalam lift aku hanya memandangi diriku lewat kaca yang tepat melapisi seluruh permukaan dinding lift. Kalau dipikir-pikir hebat juga, aku, anak tukang cuci dan satpam bisa berada di Amerika sekarang. Aku beruntung karena tidak semua orang bisa ke sini. Tapi tetap saja setiap orang pasti punya masalah, dan masalahku sangat berat bagiku. Aku lebih baik tidak pernah ke sini daripada harus menanggung masalah yang sedang aku alami ini. Keluarga berantakan! Siapa yang mau keluarganya hancur lebur tak jelas keberadaan para anggotanya? Seharusnya kami sekeluarga sedang berkumpul saling bertukar pikiran dan perasaan, tapi bertemu saja sulit rasanya. Jadi apa yang bisa di harapkan?
Pintu lift terbuka, menandakan kami sudah sampai di lantai 18. Jasmine mulai menelusuri lorong-lorong yang begitu sepi, sebenarnya sedikit horor, aku menguntit di belakangnya. Suara dentakan kaki begitu nyaring terdengar. Sesekali kami berpapasan dengan orang. Tapi tak menyapa sama sekali. Mungkin memang adat di sini berbeda, kalau di Indonesia pasti sudah ramai saling menyapa atau minimal tersenyum sedikit. Jasmine berhenti tepat berada di depan pintu nomor 1303. Pasti ini tempat John tinggal. Tanpa harus berbuat apa-apa ternyata pintunya terbuka sendiri. John sepertinya sudah siap siaga di depan pintu sedari tadi.
“Hi John.....” Sapaku.
“Hi Luna... akhirnya kau mampir juga ke sini.” Katanya sambil nyengir dan mempersilahkan kami masuk dan duduk di sofanya yang empuk. “Kalian ingin minum apa?”
“Apa saja yang penting berbentuk cair dan bisa diminum.” Jasmine yang langsung menyambar majalah-majalah yang berada di atas meja di depan kami.
“Ok, mungkin cokelat hangat bisa mengobati kedinginan kalian.” Ia pun menghambur ke dapur.
“Apa semua ini miliknya?” Aku mengernyit membayangkan John duduk bersilang dan membaca setumpukan majalah wanita yang bercover merah muda sambil di many pady oleh temannya dan memakai kutek.
“John itu lelaki tulen, kau ini berpikiran yang macam-macam saja.” Ia menyergah semua pikiran anehku.
“Lalu milik siapa majalah sebanyak ini?”
“Ini semua pasti milik pacarnya.”
“Ya, itu semua milik pacarku, dia sering kesini, kapan-kapan kau harus bertemu dengannya Luna....” John yang datang dengan 3 cangkir cokelat panas dan 3 potong roti menyambar dan sepertinya dia sudah mendengar pembicaraan kami sejak tadi.
“Apakah dia lebih cantik dari pada aku? Kalau tidak, aku tidak mau bertemu dengannya.” Mataku menyempit dan mengeluarkan nada genit.
John duduk di sampingku. “Bagaimana ya? Baiklah, dia lebih cantik dari pada kau, tapi itu hanya agar kau mau berkenalan dengannya.” Ia nyengir menunjukkan sederet giginya yang cemerlang.
Aku senang sekali meledeknya, karena setiap kali kita bertemu, dia pasti bilang kalau aku adalah gadis paling cantik seantero planet bumi. Walaupun itu tidak benar aku tetap bangga ada yang bilang aku seperti itu. Kunikmati secangkir cokelat panas sebenarnya sudah hangat, yang ada di depanku.
“Oh ya, kau merasa kehilangan sesuatu tidak?” Tanyaku pada John yang sedang seru nonton pertandingan sepak bola.
“Hah? Kurasa tidak, memang apa yang hilang?” Wajahnya terlihat aneh, rupanya dia salah memasang ekspresi.
Dia memang selalu begitu, tak pernah perhatian pada barang-barang miliknya, tak heran kalau barangnya banyak yang hilang sementara ia tidak menyadarinya. Orang seperti ini sangat berbahaya.
“Ipodmu ada padaku. Tadinya aku ingin mengembalikannya, tapi aku lupa membawanya. Tidak apa-apa kan? Lagipula itu tidak terlalu penting kan?”
“Ya, kau boleh mengembalikannya kapan saja.” Mendadak ia berteriak histeris saat si kulit bundar menjebol gawang Chelsea. Skor pun berubah menjadi 1 untuk Arsenal dan 0 untuk Chelsea. Wajahnya sangat berseri-seri tahu jagoannya ‘Van Persie’ berhasil membobol gawang lawan. “Oh, bagaimana dengan sekolah barumu? Aku ingin mendengar ceritanya. Cerita SMA selalu menarik untuk didengarkan. Teman baru, sekolah baru, pacar baru?”
“Kalau kau mendengarnya kau tidak akan suka. Tak semenarik yang kau bayangkan. Gadis sombong yang bibirnya berlumuran lipgloss selalu membayangi ketenanganku.”
Jasmine hanya tertawa mendengarkan obrolanku dengan John.
“Nanti aku akan nonton konser dengan pacarku, kau mau ikut tidak?”
“Konser siapa?”
“Jammie Cullum!!!!”
“Ah, aku tidak terlalu antusias dengan lagu jazz. Kecuali Jason Mraz. Lagipula, besok aku sekolah, memangnya aku akan sampai rumah jam berapa? Tenang saja, kau bisa mengenalkannya padaku lain kali. Aku juga tidak mau merusak acara kencan kalian.” Aku terkekeh, nadaku hampir seperti meledek.
“Dasar anak kecil! Tau apa kau tentang kencan? Pernah pacaran saja tidak.” Nadanya meremehkan.
“Jangan salah Anda. Aku bisa saja mendapatkan pria manapun. Termasuk kau, tapi sayangnya kau ini sudah aku anggap sebagai kakakku. Jujur saja, sebenarnya kau tertarik kan padaku?” Sambil menunjukkan telunjukku ke arahnya.
Ia mengusap-ngusap rambutku hingga rambutku mencuat tak beraturan. Kini aku mulai fokus dengan pertandingannya. Sesekali aku menguap, sepertinya aku lelah sekali. Sangat mengantuk.

Kubuka mata semuanya gelap. Terdengar suara bising dari ruang sebelah. Aku meraba-raba keadaan sekitar. Rasanya aku sedang berada di atas sesuatu yang hangat, lembut dan nyaman. Sebuah kasur. Aku bangun dengan kepala yang masih terasa pusing. Aku mulai berjalan mendekati cahaya, ke ruang sebelah. Aku masih linglung, sebenarnya aku sedang berada di mana? Samar-samar kulihat seorang pria sedang serius dengan laptopnya dan membiarkan televisi menyala walau tak terpakai. Itu pemborosan namanya.
            Kuhampiri dia. “John?” Panggilku sambil mengusap mata yang masih berat rasanya.
            Ia menoleh dan menunjukan seringai lebarnya. “Kau terbangun?”
            Aku duduk di sofa, di sebelahnya. “Jam berapa sekarang?” Aku menguap. Lagi.
            “Jam 11.30.”
            Tiba-tiba timbul suara yang femiliar dari dalam perutku. Cacing-cacing manusia tahu benar kalau waktunya makan sudah lewat beberapa jam yang lalu. Suaranya begitu nyaring hingga John pun mendengarnya. Ia nyengir dan bangkit dari tempat duduknya.
            “Aku mengerti, kau tidur hampir 6 jam. Akan kubuatkan kau sesuatu.” Ia menghambur ke dapur.
            Aku terperangah. Yang benar saja? Aku tidur selama itu? Sungguh tidak wajar. Jadi kalau dihitung waktu tidurku sudah melebihi waktu tidur bayi. Pasti ada yang salah dengan diriku. Tidak biasanya aku seperti ini. Aku menunggu John dengan menonton channel yang tidak jelas, membuatku tambah pusing. Kutekan tombol-tombol remot, walau tak tahu tujuannya kemana.
            “Makanlah ini. Spesial buatanku. Dijamin pasti kau ketagihan.” Ia datang dengan seporsi nasi goreng.
            “Kalihatannya enak.”
            Aku langsung menyambar makanan yang ada di hadapanku itu. Kulalap sampai habis. Aku tak perlu lagi jaga sikap di hadapan John, ia sudah tahu aku luar dalam.
            “Setelah ini, akan kuantar kau pulang. Sebelum malam makin larut.”
            “Kenapa aku tidak dibangunkan waktu Jasmine pulang?” Aku berbicara sambil megap-megap karena kepedasan. John sangat tahu seleraku.
            “Tadi ia ditelepon oleh kantornya. Jadi ia tidak pulang tapi langsung bekerja. Urusan mendadak. Dan aku sudah berjanji padanya aku yang akan mengantar kau pulang. Sudah cukup jelas nona?”
            “Ya. Tapi apa kau tidak mengizinkan aku mandi dulu?”
            “Kurasa tidak perlu. Aku tidak mempunyai cadangan baju wanita. Lagipula, kau akan tetap terlihat cantik.” Ia nyengir lagi menampakkan gigi-giginya yang putih.
            “Aku tidak terkejut kau mengatakan itu.”
            Dengan segera aku mengahabiskan makanan itu. Sementara John bersiap-siap untuk mengantarku pulang. Aku membututi di belakangnya selama perjalan menuju parkiran apartemen. Ia membukakan pintu mobil untukku. Kelewat baik.
            John memacu mobilnya dengan cepat, mengingat malam akan semakin larut saat kami tiba di Denville. Dalam perjalanan aku merasa badanku rapuh, kepalaku pening. Sepertinya memang ada yang salah dengan diriku.
            “Kau tidak apa-apa? Sepertinya kau sangat lemas? Kau mabuk darat juga? Seperti di pesawat kemarin?” Ia memperlambat laju mobilnya.
            “Jangan khawatirkan aku. Aku hanya mengantuk.”
            Cukup jauh perjalanan yang kami tempuh. Tiba di Denville pun sudah cukup larut. Aku turun dari mobil sebelum John membukakan pintu untukku.
            “Sudah malam. Sebaiknya kau bermalam saja di sini. Lagipula perjalanan ke Newark akan mengabiskan waktu lebih lama lagi. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan kuat kalau harus menempuh jarak sejauh itu lagi.”
            “Tenang saja. Aku ini kan super human. Besok aku harus berangkat pagi. Tidak akan sempat kalau berangkat dari sini. Sampaikan saja salamku pada keluarga Alex. Maaf tidak bisa mampir. Dah! Jaga dirimu baik-baik.” Ia pun lenyap di balik kegelapan malam.
            Aku masuk ke dalam rumah dengan sempoyongan. Berdiriku tidak tegak. “Aku pulang!” Kataku setelah sampai di ruang tengah di mana Alex dan anak kesayangannya itu berada.
            “Hi Luna? Bagaimana hari ini?” Sapa Alex.
            “Biasa saja. Aku sangat mengantuk. Sampai jumpa besok pagi. Jasmine?”
            “Ia belum pulang. Sangat sibuk.”
            “Baiklah.” Aku mengangguk dan berlari menuju kamar.
            Kubaringkan tubuhku di tempat tidur. Perasaan aku sudah tidur cukup lama. Tapi kenapa aku masih mengantuk? Bahkan lebih mengantuk daripada malam-malam sebelumnya. Dalam hitungan detik pun aku terlelap. Tak bisa lagi mendengar keadaan sekitar. Aku tidak peduli apa yang terjadi di luar sana. Untuk saat ini aku akan menenangkan pikiranku.










7. Monster Baik Hati


PAGI ini aku bangun dengan badan tidak karuan. Apa aku akan sakit? Semoga tidak. Hari ini kan hari pertamaku bekerja. Setelah pulang sekolah aku akan langsung ke cafe itu. Aku jadi tidak sabar.
            Aku merapikan diriku bersiap-siap berangkat ke sekolah. Setelah beres pergi ke meja makan dan berangkat dengan motorku. Seperti biasa. Ritual yang terjadi terlalu datar. Tak ada yang istimewa. Udara pagi ini cukup membuatku merinding. Walau sudah memakai jaket tebal, sepatu dan helm, tetap saja angin dapat menembusnya. Aku ingin cepat-cepat tiba di sekolah agar aku bisa menghangatkan tubuhku. Setidaknya.
            Beberapa menit aku pun tiba di sekolah dan kuparkirkan motorku di antara mobil mewah lainnya. Hari ini sikap semua orang aneh. Aku jadi bingung sendiri. Biasanya mereka memandangku jijik, tapi sekarang mereka sangat ramah, mau menyapaku. Tak ada lagi yang menatapku curiga aku dari planet mana. Apa yang salah dengan hari ini? Semua orang di sepanjang koridor bersikap sama. Aneh. Aku jadi bergidik sendiri.
            Konsenterasiku saat mengikuti pelajaran bahasa Spanyol sangat buruk karena apa yang sedang kurasakan sangat mengganggu. Sepertinya aku benar-benar tidak baik-baik saja. Seusai pelajaran aku pergi ke toilet. Siapa tahu aku mendapatkan pencerahan di sana. Kubasuh mukaku beberapa kali dengan air. Terdengar suara pintu dibanting. Aku tersentak dan segera menoleh. Seorang cowok berdiri di depan pintu yang terkunci. Setelah kuteliti ternyata dia Shantel Hansen. Ooops. Apa yang dia lakukan di toilet cewek? Perlahan ia maju selangkah demi selangkah menghampiriku. Hingga wajahnya dengan wajahku hanya bejarak beberapa senti meter. Tak ada orang lain di ruangan ini. Hanya kami berdua.
            “Apa yang akan kau lakukan?” Tanyaku gugup. Sebenarnya sedikit takut.
            “Ini semua gara-gara kau! Semua fasilitas yang ayahku berikan kini semuanya ditarik kembali sampai aku benar-benar merasa bersalah. Sekarang kurasa kau harus mendapat sedikit pelajaran.” Ia menatapku garang.
            Kubalas tatapannya. Cukup lama kami saling bertatapan. Hingga akhirnya ia tersentak dan perlahan mundur hingga cukup jauh dari posisiku berdiri. Tiba-tiba pandanganku kabur. Aku tak bisa melihat keadaan sekitar lagi dan aku tak ingat saat itu.

Kucoba gerakkan jari-jari tanganku sebelum aku benar-benar membuka mata, tapi berat rasanya. Perlahan kelopak mataku terbuka sedikit demi sedikit. Kukerjapkan kedua mataku karena silau. Kalau tidak salah rasanya aku sedang berada di atas kasur. Di mana lagi aku? Aku melihat seseorang di samping kananku dari sudut mataku. Tapi tak jelas. Kucoba perjelas lagi penglihatanku hingga aku memutarkan kepala kesamping hingga benar-benar melihatnya. Shantel.
            Reflek aku bangun dari posisiku semula. Dan saat itu kepalaku sangat pusing, sampai-sampai aku benar-benar merasakan darah mengalir ke kepalaku. Menyakitkan.
            “Bodoh.” Katanya. Ia tak beranjak dari tempat duduknya. Ia tetap menyilangkan lengannya di atas dada dan duduk rileks. Makhluk macam apa dia. Setidaknya membantuku bangun, apa salahnya?
            Aku berusaha untuk dapat duduk. Aku masih memegangi kepalaku yang pening. Ia menatapku tak mengatakan sepatah kata pun. Cukup lama. “Ada yang harus kau katakan?” Tanyaku.
            “Kau lumayan berat.” Katanya dingin.
            “Maaf.”
            “Aku tidak tahu. Kau jatuh begitu saja. Bahkan menyentuhmu pun tidak. Sungguh mengherankan. Apakah ternyata aku punya tenaga dalam? Bisa melumpuhkan orang tanpa menyentuhnya?” Ia bingung, dan sepertinya sedikit menyesal.
            “Bukan salahmu.” Aku mengoreksinya.
            Kuperhatikan lagi di sekitarku. Untuk memastikan sebenarnya aku sedang berada di mana. Banyak kotak obat dan gorden berwarna hijau. Sudah bisa kutebak, aku berada di klinik sekolah.
            “Kau sendirian?” Sebenarnya tak ada gunanya bertanya seperti itu. Hanya untuk berbasa-basi.
            “Sekarang ya. Tadi ada beberapa temanmu dan Mrs. Jared. Tapi mereka keluar karena lelah menunggumu pingsan lama sekali. Jangan-jangan kau memanfaatkannya untuk tidur.”
            Aku bangun dan menyeimbangakan tubuhku.
            “Kuantar kau pulang.” Sikapnya masih ketus.
            “Aku tidak mau pulang. Aku masih kuat sampai sekolah usai.”
            “Kau ingin merepotkan lebih banyak orang lagi ya? Kau ini sudah cukup menyebalkan. Kalau aku tidak mengantarmu pulang, aku pasti akan dihukum oleh ayahku. Karena yang ia tahu kau begitu karena aku.”
            “Aku bawa motor. Biar aku pulang sendiri.”
            “Kau ini sangat keras kepala!”
            Jullie, Carol dan Miley muncul dari balik pintu. Disusul Mrs. Jared di belakangnya.
            “Kau baik-baik saja?” Tanya Miley dengan wajah panik.
            Pertanyaan bodoh. Bagaimana bisa orang yang wajahnya pucat pasi dan lemas masih dibilang baik-baik saja.
            “Sebaiknya kau istirahat di rumah hingga keadaanmu benar-benar pulih.” Mrs. Jared menyarankan. “Biar Shantel yang mengantarmu.” Lanjutnya.
            Aku menolah ke arahnya.
            “Kau tidak percaya padaku?” Katanya tersinggung dengan tatapanku.
            “Bagaimana dengan motorku? Dia tak mungkin bisa pulang sendiri.”
            “Akan kusuruh Bob yang membawanya.” Shantel yang gregetan padaku. “Ayolah! Tak usah berpikir lagi. Kau membuang waktuku.”
            Dengan sangat terpaksa aku pulang dengan Shantel. Aku naik ke Lamborghini merahnya. Mobil ini sungguh keren! Selama perjalanan aku selalu menoleh ke arah spion dan sesekali menengok ke belakang untuk memastikan motorku baik-baik saja di bawa Bob.
            “Kau ini gelisah sekali. Itu membuatku pusing tahu?” Kata Shantel yang sangat sensitif padaku.
            “Bagaimana aku bisa tenang kalau aku tidak tahu nasib motorku yang dibawa oleh orang yang tidak cukup berpengalaman mengendarai motor?” Jelasku.
            “Bob pernah mengendarai motor sebelumnya. Jadi kau tidak perlu khawatir.”
            “Tetap saja aku tidak begitu percaya dengannya, aku punya perasaan buruk.”
            Whatever.”
            Perasaanku sungguh tidak tenang. Motorku pun tak terlihat di belakang. Apa motorku baik-baik saja.
            “Seharusnya kau mengkhawatirkan Bob.” Katanya lagi.
            “Yang terpenting adalah keselamatan motorku tahu?”
            “Kau ini bukan manusia ya?”
            Ternyata dia masih punya hati. Jadi tidak mungkin ia akan mencelakakanku saat seperti ini. Aku agak lega sekarang.
            Setelah menempuh perjalanan yang begitu melelahkan karena kekhawatiranku terhadap motorku akhirnya kami sampai di rumah Jasmine.
            Shantel mengantarku sampai anak tangga di depan pintu. “Sebaiknya kau masuk dan istirahat. Sebelum kau merepotkanku lagi.”
            “Aku mau menunggu motorku.”
            “Biar aku yang menuggu Bob, aku juga mulai khawatir dengannya.” Ia duduk di anak tangga ketiga dari bawah.
            Aku duduk di sampingnya. “Percuma saja, aku tak akan tenang dalam istirahatku.” Ia menoleh sebentar ke arahku dan berpaling. Ia terdiam karena putus asa terhadapku yang keras kepala. “Maaf soal kejadian waktu itu. Itu respon yang alamiah. Kau patut bersyukur hidungmu tidak patah.”
            “Aku tidak akan memaafkan dirimu kalau sampai itu terjadi. Ketampananku akan dirusak begitu saja. Aku tidak akan terima itu.”
            Aku menahan tawa yang hampir saja meledak. Ia melirik dan memandangku sinis. Kemudian memutar bola matanya. Aku memandangnya mencari kebaikan dalam hatinya, pasti akan ketemu kalau kau melihatnya jauh di dalam sana di dalam hatinya.
            Ia menoleh merasa tak nyaman dengan apa yang aku lakukan. “Apa-apaan kau ini? Aku tak suka kau melakukannya.”
            “Kuberi tahu ya, ketampanan tidak hanya terpancar dari fisik semata, tapi dari dalam hati jauh lebih berarti. Aku yakin kau akan semakin tampan kalau kau membuang semua kebiasaan burukmu mengganggu orang lain.” Aku mencoba mengeluarkan nada meyakinkan sebaik mungkin.
            “Buang jauh-jauh pikiranmu itu. Aku tak butuh pendapatmu tentangku. Lagi pula aku tidak peduli sama sekali. Jadi tutup mulutmu rapat-rapat sebelum kumasukkan kau ke dalam rumah dengan paksa.”
            “Coba saja.” Kataku menantangnya.
            Ia menggeram. “Kau ini makhluk paling menyebalkan di dunia ini.” Membuang muka dan mengusap lengannya, sepertinya ia mulai kedinginan.
            “Sebenarnya aku ingin menyuruhmu masuk. Tapi, tak ada orang di rumah. Jadi aku tidak berani membiarkanmu masuk.”
            “Kau seperti balita yang ditinggal orang tuanya pergi ke pasar murahan.” Ia masih tetap ketus. Susah sekali melunakkan hati orang ini.
            “Kau ini cowok dan aku cewek, tidak pantas berdua di dalam rumah yang penghuninya sedang tidak ada di tempat. Aku bukan cewek murahan seperti yang kau pikirkan sebelumnya.”
            “Pikiranmu sangat primitif.”
            “Lebih baik pikiran primitif dari pada kelakuan primitif.”
            “Maksudmu?” Tanyanya curiga.
            “Ya. Tak mengenal norma dan,” aku nyengir meremehkan. “memakai baju minim. Apa itu namanya tidak primitif. Jaman sekarang sangat mudah menemukan kain. Kenapa masih suka memakai baju yang kekurangan bahan?” Memang aneh rasanya bicara seperti itu di depan orang Amerika. Pasti aku dianggap orang sinting. Jelas-jelas adat dan budaya kami berbeda, tapi setidaknya dia harus tahu bahwa tak semua wanita serendah seperti yang ia pikirkan.
            Ia membuang napas kuat-kuat. Pembicaraan kami terhenti sampai situ. Saling berdiam diri menunggu motorku yang dibawa Bob. Aku tak tahu apa lagi yang bisa menjadi topik pembicaraan. Selalu begitu, kehabisan kata-kata. Bagus.
            “Bisakah kita bicara seperti manusia beradab?” Apa kata-kata itu pas digunakan? Semoga ya.
            “Beradab.” Ulangya tanpa menoleh sedikit pun kearahku.
            “Ya, maksudku tidak harus melukai perasaan satu sama lain.”
            “Dengar ya gadis Bali....” katanya hati-hati tepat di depan wajahku.
            “Aku bukan gadis Bali, bahkan aku tidak dilahirkan di sana.”
            “Apapun itu aku tidak peduli. Tapi sepertinya kau harus mengatakan itu pada dirimu sendiri. Karena faktanya, kau yang menyakiti aku. Asumsi konyolmu itu membuatku ingin menangis. Kau memaksaku menanggapi semua pembicaraan yang tidak penting. Apa namanya itu kalau bukan penyiksaan secara halus?” Ia memegangi kepalanya dengan kedua tangannya sesekali mengguncang-guncangkannya. Ia terlihat seperti orang yang frustasi. Apa separah itu menanggapi pembicaraanku? Mengerikan sekali kalau begitu.
            “Maaf.” Bibirku terkatup rapat hanya kata-kata itu yang keluar.
            Sejurus kemudian Bob datang dengan terseok-seok sambil menunggangi motorku. Aku berdiri dari tempatku semula. Hingga Bob berhenti tepat di depan kami. Napasnya terengah-engah.
            “Maaf, motormu mengalami sedikit gangguan.” Katanya dengan sangat enteng.
            Apanya yang sedikit? Aku terperangah melihat keadaan motorku sekarang. Lalu dia sebut apa tentang spionnya yang hilang, plat nomornya yang bengkok dan noda lecet di sana-sini? Masih dibilang sedikit gangguan? Bahkan bentuknya tak lagi seperti motor. Tubuhku melemas, aku pun tersungkur di tanah beraspal. Mataku tak terlepas dari kekacauan yang dialami motorku. “Apa yang kau lakukan terhadap motorku?” Suaraku parau menahan marah. Mataku mulai memerah, sepertinya. Tanpa menoleh ke arah mereka.
            “Tidak ada, tadi hanya mengalami sedikit benturan dengan tiang dan pembatas jalan. Lalu terjatuh dan terseret beberapa meter. Untung saja aku segera melompat, kalau tidak mungkin aku akan terluka.” Tukasnya santai, tak merasa bersalah sedikit pun. Hebat. Manusia macam apa dia?
            Tubuhku semakin lemas mendengar ceritanya. Aku tak lagi mampu menggerakkan jemariku. Berat rasanya.
            “Bob, kau membuat keadaannya semakin kacau. Kapan terakhir kali kau menggunakan motor?” Shantel yang mulai angkat bicara setelah beberapa menit terdiam.
            “Lima tahun yang lalu.”
            “Jujur saja kau bisa mengendarai motor tidak?” Tanyanya lagi.
“Kurasa kau tahu jawabannnya setelah kau lihat keadaan motor itu sekarang.”
            Shantel menggeram. “Kenapa kau tidak bilang sebelumnya?” Desisan itu keluar dari selah-selah giginya, aku bisa mendengar itu.
            “Kau kan tidak menanyakan hal itu. Kau hanya bertanya apa aku pernah mengendarai motor sebelumnya. Jadi aku jawab ya.” Sepertinya ia selalu menanggapi segala sesuatunya dengan santai. Alasannya jelas. Tak mau ambil pusing.
            “Kau membuat masalahnya semakin rumit, bodoh!” Bentaknya.
            “Maafkan aku. Aku memang makhluk paling bodoh, seperti katamu.”
            “Oh! Tidak lagi. Jangan menampakkan wajah itu lagi Bob, aku tak mau berbelas kasihan padamu saat ini. Please, jangan membuatku merasa bersalah.”
            Aku masih shock dengan apa yang terjadi barusan, dan sekarang harus mendengar mereka bertengkar. Aku semakin frustasi. “Kalau saja aku bisa bangun dan mengambil parang sekarang, aku akan benar-benar membunuhmu Bob.” Aku tak melihat ekspresinya saat itu, tapi terlihat dari sudut mataku ia tersentak dan mundur beberapa langkah dari sampingku. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku ke yang lain-lain. Aku bisa membayangkan bagaimana kalau Jasmine tahu soal ini. Jelas. Aku akan dipecat sebagai keponakannya. Karena ia berpikiran aku orang yang tidak tahu terimakasih. Tubuhku semakin panas membara. Ditambah lagi dengan kepalaku yang sedari tadi penat, pusing dan sakit. “Sekarang aku tahu seberapa besar kau membenciku Shane.”
            Ia mendekatiku entah apa yang akan ia lakukan yang jelas, sekarang aku sudah tidak peduli. Aku mendongak ke wajahnya ia menatapku, aku pun membalas menatapinya. Kejadian itu terulang lagi, suasananya menjadi samar-samar sekarang.

Bisa kurasakan api bergejolak di setiap aliran darahku, tapi di satu sisi aku menggigil kedinginan. Napasku tersengal-sengal terasa panas hembusannya di kulitku yang menempel dekat hidung. Tenggorokanku kering kerontang. Aku berada di gurun pasir yang teramat gersang sendirian. Tak ada apa-apa di sini kecuali pasir yang membentang luas. Keadaan ini sungguh menyiksa. Kulihat ada sebentuk bayangan yang begitu nyata. Hewan aneh, berbadan ikan namun berkepala buaya. Hewan itu mulai mendekatiku dan mencoba menggigit jempol kakiku. Aku berlari sekencang mungkin untuk menghindarinya. Aku terus berlari walaupun tak tahu harus sampai kapan. Tapi tak ada jalan lain. Sekarang hewan itu bertambah besar dan semakin mudah mengejarku. Hebat. Sekarang hewan itu terbang dan mendarat tepat di depanku dan menggigit jempol kakiku. Begitu sakit hingga aku tersentak dan membuka mata. Sekarang aku mendapati diriku di atas sebuah sofa dengan nyala lampu yang tidak begitu terang. Di luar jendela sana langit berwarna abu-abu gelap. Ternyata hari sudah senja. Berapa lama aku terbaring disini dengan dibungkus selimut yang hangat ini?
            Kucoba memfokuskan pada keadaan sekitar. Berusaha mencari seseorang. Di sampingku, Chad memandangiku yang sedang kebingungan dengan wajah bingung. Bagus. Sekarang kita malah berbingung ria.
Kulihat Alex tepat di bawah kakiku. Ia menunjukan seringai lebar. “Akhirnya kau sadar juga. Tanganku sudah sakit karena terus memencet jempolmu.”
Sekarang aku tahu apa arti mimpi itu. Aku hanya tersenyum dan bangun dari posisi tidurku. Sekarang keluar bunyi gemeruyuk dari dalam perutku. Sangat nyaring, mustahil orang lain tak bisa mendengarnya. Aku baru sadar terakhir kali aku makan adalah waktu sarapan pagi tadi. Aku sudah berapa jam tak sadarkan diri?
“Jumlahnya tiga orang sekarang.” Kata Alex bangga.
Ternyata bukan hanya aku saja yang kelaparan, dua orang yang bersamaku ini juga mengalami hal yang sama. “Kalian belum makan?”
“Biasanya Mom menyediakan beberapa kue tart di lemari pendingin, tapi mungkin kali ini Mom lupa.” Chad yang tumben sekali mau bicara padaku. Biasanya ia bersikap lebih baik mati daripada harus bicara padaku. Ada apa dengan anak itu? Hal ini malah menjadi sesuatu yang menakutkan.
“Aku sudah berkeliling kota tadi untuk mencari makanan, tapi, oh, ya ampun. Semua toko tutup sejak pukul tujuh tadi.” Alex menampakan wajah putus asanya.
“Baiklah. Aku akan mencari sesuatu di dapur.” Aku memaksakan diri untuk bangun walaupun keadaanku sedang tidak meyakinkan.
“Tapi kau sedang sakit Luna. Lebih baik kau tidur saja. Kami masih kuat kok, menunggu Jasmine pulang. Paling lama tiga jam lagi.”
“Aku tidak apa-apa kok. Akan semakin repot kalau yang sakit lebih dari satu orang.” Aku berjalan ke dapur dengan sempoyongan.
Aku mencari sesuatu yang bisa kuolah menjadi sebuah makanan. Hanya ada beberapa buah kentang dan telur di lemari es. Apa yang bisa kubuat dengan kentang dan telur? Mungkin steak kentang? Aku pernah melihatnya di televisi waktu itu. Tapi aku baru sadar, aku tidak terlalu pandai memasak. Sungguh memalukan mengetahui anak seumurku tak bisa memasak? Keterlaluan. Tak apalah. Akan kucoba, semua bahan yang kubutuhkan sudah tersedia.
Tak lama, tiga porsi steak kentang sudah siapa santap. Entah apa rasanya. Semoga makanan ini minimal tak meracuni Alex dan Chad atau membakar tenggorokan mereka. Kusajikan makanan itu di ruang tengah dimana mereka sedang berkumpul. Dari baunya sih sepertinya enak, tapi aku tak bisa menjamin itu.
Seketika semuanya habis disantap. Entah karena enak atau mereka hanya kelaparan. Aku saja bingung melihatnya. Tapi rasanya tidak terlalu buruk. Menurutku.
Ada banyak pertanyaan yang berkecamuk di benakku tentang kejadian selama aku tak sadarkan diri tadi. Tapi bagaimana aku mulai? Aku saja tak ingat apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Suara dering telepon membuyarkan lamunanku. “Biar aku yang angkat.”
Aku mengangkat gagang telepon yang terletak dengan rapi. “Selamat malam.”
Hai Luna! Bagaimana keadaanmu?
Aku langsung mengenali suara familier itu. “Jullie? Tidak lebih baik dari tadi siang.”
Kau pingsan lagi ya? Seharusnya tadi aku saja yang mengantarmu pulang. Memang monster itu tak bisa dipercaya. Oh ya, aku turut prihatin dengan motormu.”
“Motorku?” Ya ampun! Aku hampir saja lupa dengan itu.
Maaf mengganggumu, tapi sepertinya kau butuh istirahat sekarang. Suaramu terdengar kacau. Baiklah, cepat sembuh!” Diikuti dengan bunyi beep berkali-kali.
Kuletakkan kembali telepon itu ke tempatnya. Apa Alex sudah tahu? Tapi ia tak menunjukkan reaksi apapun. Aku duduk lagi di tempatku semula. Sementara Alex dan Chad sedang serius menonton acara telelvisi yang tidak jelas. Aku mencoba merangkai kata untuk menanyakan soal motorku. “Mmmhm. Aku ingin menanyakan sesuatu tentang apa saja yang terjadi tadi siang.”
“Oh soal itu. Kau tidak perlu mengkhawatirkannya.” Jawabnya santai.
“Tadinya kupikir lelaki itu berniat jahat padamu, jadi aku sempat memukul dan menendangnya. Tapi ternyata ia bermaksud baik. Tolong sampaikan maafku padanya. Ia bahkan sangat baik. Dia rela menjagamu sampai Dad pulang. Malah tadi aku sempat dibelikannya es krim dan beberapa mainan agar aku tidak meneriakinya maling. Dia itu pacarmu ya?” Chad yang tiba-tiba menyambar dan terus berbicara. Tak biasanya dia seperti ini.
Itu sih bukan baik namanya, tapi terpaksa supaya tidak dihajar massa karena dituduh mencuri. Lelaki itu? Apa yang ia maksud adalah Shantel? Dia? Menjagaku sampai Alex pulang? “Berapa jam ia disini?”
“Aku tidak tahu pastinya. Mungkin...” Ia mulai menghitung dengan jari-jarinya.”Lima jam kira-kira.” Imbuhnya.
Aku sungguh terkejut mendengarnya. Lima jam? Apa yang ia lakukan selama itu? “Ada yang lain?”
“Motormu. Katanya dia akan mengurus semuanya. Dia orang yang sangat bertanggung jawab. Kupikir besok kau tidak usah sekolah dulu. Biar keadaanmu pulih dengan maksimal. Jangan sampai kejadian hari ini terulang lagi.” Kata Alex dengan bijaksana. Jadi kuiyakan saja perkataannya. Aku pusing kalau harus berdebat dengannya. “Aku lupa. Kau pasti belum minum obat. Akan kuambilkan. Setelah ini lebih baik kau tidur supaya kau cepat sembuh.” Lanjutnya.
Tapi aku sungguh masih bingung. Shantel? Ternyata ia tak seburuk yang kusangka. Bukan seperti monster yang orang-orang gambarkan. Ia sangat baik.
Aku meminum obat yang Alex berikan dan pergi ke kamarku untuk istirahat. Padahal hampir seharian aku tidur. Tapi sungguh, aku masih sangat mengantuk. Kupandangi suasana kota yang basah diguyur hujan dari balik jendela sampai mataku tertutup dengan sendirinya.






8.


AKU tak tahu jam berapa sekarang. Yang jelas, matahari sudah cukup tinggi. Hingga panasnya menembus jendela ke kamarku. Aku bangun, sepertinya keadaanku sudah agak membaik pagi ini. Aku berjalan ke kamar mandi. Ingin melihat keadaan diriku di cermin. Oh, ya ampun, aku berantakan sekali. Aku seperti zombie. Bahkan kalau orang lain melihatku sekarang pasti ia akan kabur sebisa mungkin menyelamatkan diri. Aku akan memperbaiki keadaan dengan mandi.
            Tak membuang waktu sedikit pun setelah diriku tak lagi mengerikan, aku turun ke lantai satu untuk menemui Alex, Chad atau Jasmine, berharap aku tak ketinggalan sarapan pagi ini.
            Tapi sepertinya terlambat. Rumah sudah sepi, hanya terlihat Alex di ruang tengah sedang sibuk membaca buku. “Pagi Luna! Sarapanmu ada di meja makan. Jasmine sangat berterimakasih karena kau sudah memasakkan sesuatu untuk kami semalam.”
            Aku hanya tersenyum dan mengangguk beberapa kali. Tanpa ragu aku langsung menyambar seporsi omlete di meja. Aku begitu bersemangat memakan makanan itu. Aku sudah seperti orang yang tidak makan selama satu minggu. Aku baru sadar, jam berapa sekarang? Jam digital di dekat microwave menunjukkan pukul 12.16 p.m. Bagus. Apa yang harus aku lakukan setelah makan nanti? Membelalakkan mata di depan televisi sampai mataku juling? Sungguh, aku tidak punya kesibukan lain.
            Setelah mencuci beberapa piring yang kotor, aku memutuskan untuk merapikan kamarku dan mengumpulkan pakaian-pakaian untuk dicuci. Hanya agar aku terlihat sibuk. Padahal baju-baju itu belum kotor.
            Masih banyak waktu yang kumiliki setelah semua pekerjaan itu selesai. Padahal aku merasa sudah cukup lama. Tapi aku masih melihat Alex di rumah. Apa ia tidak pergi bekerja?
            Aku menghampirinya yang masih terpaku dengan buku bacaannya itu. “Kau tidak pergi ke kantor?” sambil menyambar tumpukan majalah milik Jasmine yang ada di bawah meja. Padahal aku tak minat baca majalah seperti ini. Sekali lagi. Hanya untuk mencari kesibukan.
            “Tidak, aku mengambil cuti dua hari.”
            “Untuk?”
            “Aku hanya sedang tidak mood untuk bekerja.”
            Enteng sekali ia bicara begitu. Andaikan semua pekerja seperti dia, mau jadi apa perusahaannya?
            “Kapan kau mulai bekerja di toko kue itu?” Tumben ia bicara dengan nada cool. Biasanya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat.
            “Mungkin besok, kalau keadaanku sudah memungkinkan. Omong-omong soal toko, memangnya ada acara apa kemarin, hingga semua toko tutup?”
            “Beredar kabar perampok berdarah dingin itu kembali lagi.”
            “Kembali?”
            “Ya, kota ini pernah digegerkan dengan munculnya kawanan perampok berdarah dingin yang tak segan-segan membunuh para korbannya. Puluhan orang tewas saat itu.”
            Aku mengernyit membayangkan pembantaian itu. Sungguh kejam mereka.
            “Kau sudah baikan? Kalau belum, aku antar kau ke dokter, sebelum sakitmu bertambah parah.”
            “Sepertinya sudah lumayan, kepalaku sudah tidak sakit dan aku agak fresh sekarang.”
            “Syukurlah kalau begitu. Tapi kau harus tetap banyak istirahat agar kau benar-benar pulih. Aku akan ke bengkel, sepertinya ada sedikit masalah dengan mobilku. Aku akan kembali tiga jam lagi.” Sambil melihat jam tangannya dan menyambar mantel di gantungan, menghambur ke luar rumah.
            Oh, yang benar saja. Apa yang harus aku lakukan dengan hari yang panjang ini? Aku sungguh bingung harus melakukan apa sekarang. Coba kalau tadi aku sekolah saja. Pasti ada kegiatan yang bisa aku kerjakan selain melamun dan menonton acara televisi yang tidak aku mengerti.
            Lebih baik aku ke luar rumah saja menghirup udara segar. Terakhir kali aku di luar rumah adalah kemarin siang. Kali ini aku mau lewat pintu belakang saja, lagipula aku tidak pernah melihat halaman belakang, seperti apa ya?
            Kubuka pintu yang agak kecil itu dan angin dingin pun menyerbu masuk. Aku lupa, di luar kan sangat dingin. Sebentar lagi, masuk musim dingin. Aku harus mengambil mantelku di dalam. Aneh juga, aku hanya ingin melihat halaman belakang, tapi harus memakai mantel. Merepotkan saja.
            Aku mencoba membuka pintu lagi. Dan kali ini aku sedikit terlindungi oleh mantel yang tebal ini. Aku mulai melangkah ke luar. Jasmine punya taman yang indah di sini.